“Pengorbanan kata mu...!”
“Iya berapa banyak laki laki dan perempuan demi untuk mengakhiri penderitaan nya terjun bebas dari situ..!” “bukan kah itu juga yang kau maksud kata dasar korban merupakan penyandang kata benda kongrit..” Imbuhan Peng- dan –an lah yang mengubah wujud nya menjadi gaib itu..”
Itu pengabaian kasualitas, pernakah kau tengok ke belakang terbelah nya seberang ulu dan seberang ilir oleh arus Musi itu yang ada di belakang punggung mu yang bertato Naga itu. “Dasar kau bangsat...! “Penghayal tukang ada ada dan mengada adakan...!”
“Sekarang kau faham teka teki ini,..!”
“Kenapa kau jadi berang..?” “ Eh inikan Cuma monolog..” “Tidak ada yang diberangi disini dan ini dilakukan secara berjemaah..”
***
Pada riak alur sungai itulah aku mendengar kejujuran sejarah. Seolah olah mereka bercerita tentang ratusan tahun yang silam. “Ya disitu nama besar itu pernah ada..” “Bukan,...ya disini dimana kita berdiri ini...”
Aku tersentak seolah olah aku ditarik nya pada masa dimana pangeran Ario Dillah menegakan kerajaan Palembang. Nama besar kerajaan Demak, sebagai kerajaan Islam terbesar di tanah Jawa dan seantaro Asia tenggara.“Apa kau mau bercerita tentang pertumpahan darah akibat harta, tahta dan wanita..?”
“Ya semua ada kaitanya, sekarang kau sudah faham...”
“Sudah lah kita belok kiri saja ada River Side disitu..ini waktu nya makan malam..!”
“Maksud Mu, Udang Satang..?” “Jenis Udang juga, tapi ini khas kekayaan hewani sungai yang berpinak pinak disini hingga hulu hulu sana di sepanjang bibir bibir Batang Hari Sembilan yang hanya terkenal dengan Irama nya saja.