Tiga hari, tiga malam. Makassar dihujani, diselingi badai-badai angin kencang. Semalam diviralkan, Bendungan Bili Bili di Kabupaten Gowa (Berbatasan langsung dengan Makassar), satu pintunya terpaksa dibuka. Itu pinta Bupati Gowa. Risikonya warga di radius terdekat bendungan, "rela" jadi korban demi Makassar tak tenggelam.
Bendungan itu memang tidak jebol! Itupun Makassar tetap meratap oleh "kehadiran" derasnya air hujan. Maka jadilah jalan-jalan raya sebagai sungai kedua.
Ya Allah, saya kasihan melihat air-air ini, mereka tak tau arah mana yang ditempuh agar tak mengorbankan manusia, menghanyutkan rumah-rumah warga, juga menenggelamkan anak-anak sekolah. Tetanggaku untuk masalah ini, memilih anak-anaknya untuk tidak bersekolah dua hari ini. Air memang tak bisa dilawan, air hanya bisa dikawani.
Kisahku di pagi tadi, melewati kawasan Daya, air telah menyapaku walau tak setinggi di kota, namun sudah membuatku was-was. Tetapi saya wajib sampai di Pusat Bahasa di Universitas Hasanuddin untuk post test IELTS Preparation.
Saya memang sukses menembus tujuan tetapi dosen-dosenku/instrukturku gagal masuk kampus karena rumahnya dikepung air, dan Jl. Sultan Alauddin sudah tak bisa lagi menopang pengendara oleh "aliran sungai baru" di jalan raya nan sangat padat itu.
Di Pintu Satu Unhas, tiga hari ini, luapan dua danau sudah menampakkan "kebolehannya" membuat pemobil, pemotor, dan pejalan terhalangi. Beberapa pohon juga sudah mulai goyah. Ranting-rantingnya berjatuhan sehingga saya putuskan untuk tidak memarkir kendaraan di kawasan perpohonan. Bahaya!
Makassar itu "kota kecil" tetapi kota ini kota hidup, dihuni Sungai Tello. Inipun meluap sehingga Jln. Perintis Kemerdekaan diblokir. Penutupan ini membuat pengendara-pengendara balik haluan, persoalan berikutnya saat balik haluan, sudah dihadang juga air di Jl.Pettarani (ke arah kota), dan dihadang air di Daya, depan STIMIK Dipanegara.
Ada yang lolos dengan kondisi mesin kendaraan sangat dipaksa membelah-belah air bah, tapi itu pun harus berhadapan lagi dengan gulungan air di depan AURI. Kendaraan bertumpuk karena space kian sempit untuk bergerak. Akhirnya, berputar-putar saja dan pulang balik di area yang sama.
Makassar memang sudah "Siaga 1", namun saya dan sewargaku di Makassar yang tercinta telah titipkan segalanya pada Sang Khalik, ini memang siklus iklim 20 (dua puluh) tahunan, kata salah seorang yang berseragam meteorologi dan geofisika yang kutemui tadi sore.
Di kotaku ini, siklus itu relatif permanen, rela tak rela, ia datang. Yang labil adalah daya bangun Makassar tergolong sangat pesat, telah sulit menemukan tanah-tanah yang luas dan lapang kecuali lapangan golf, lapangan udara, lapangan sepakbola atau semacamnya yang dibuat khusus.
Ruko-ruko di sini, beranak-pinak sampai ke sudut-sudut sempit. Hadir pula dua mall yang gedungnya "berciuman" dengan jalan utama atau jalan provinsi. Prinsip-prinsip sederhanaku ialah bukan zaman lagi salah-menyalahkan, semua ini kesalahan kolektif.
Tiada mungkin juga Makassar "dibangun ulang". Jikapun dibangun ulang, toh akan tetap berhadapan dengan soal mentalitas. Mentalitas ini menjadi ujaran generik bagi seluruh kota-kota di Indonesia. Bahwa, kita memang telah sangat jauh memperlakukan alam dan lingkungan dalam keremeh-temehan, sehingga pukulan balik yang wajib kita terima bahwa alam di Makassar ini juga tak memiliki "rasa kemanusiaan" sebab air juga butuh hidup.
Pasal lainnya, air bah ini tidak diskriminatif, semuanya dihantam tanpa memandang status sosial masyarakat. Itu malah, kantor Bupati Maros (tetangganya Makassar) air bah sudah sampai di dada atas nyaris sampai leher orang dewasa.
Kasihan itu air, bingung oleh perilaku manusia. Saya tinggal di Makassar sejak tahun 1988, tak pernah seperti ini, maju kotanya, tinggi airnya. Ini "azab".
Wajar sekali dosen seniorku tadi (yang sangat terlambat tiba di Unhas karena hadangan-hadangan air di pelbagai tempat), murka di kelas atas "malapetaka" ini. Beliau tinggal di Perumdos Unhas di Baraya-Makassar, "Mana semua ilmuwan-ilmuwan ini, kenapa tak bicara sebelumnya akan ada begini, sekarang banyak ngoceh setelah kita semua sengsara!" ucapnya yang membuatku setengah tertunduk.
Bagiku, soal banjir di Sulawesi Selatan (Makassar, Gowa, Maros, Barru, dan Jeneponto) tiada lagi yang bisa kungomongkan. Saya hanya teringat kalimat seseorang, "Kita telah membayar mahal akan seluruh budaya konsumtif kita".
Mohon doa dari kawan-kawan Kompasianer se-Indonesia
Pray for South Sulawesi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H