Tiada mungkin juga Makassar "dibangun ulang". Jikapun dibangun ulang, toh akan tetap berhadapan dengan soal mentalitas. Mentalitas ini menjadi ujaran generik bagi seluruh kota-kota di Indonesia. Bahwa, kita memang telah sangat jauh memperlakukan alam dan lingkungan dalam keremeh-temehan, sehingga pukulan balik yang wajib kita terima bahwa alam di Makassar ini juga tak memiliki "rasa kemanusiaan" sebab air juga butuh hidup.
Pasal lainnya, air bah ini tidak diskriminatif, semuanya dihantam tanpa memandang status sosial masyarakat. Itu malah, kantor Bupati Maros (tetangganya Makassar) air bah sudah sampai di dada atas nyaris sampai leher orang dewasa.
Kasihan itu air, bingung oleh perilaku manusia. Saya tinggal di Makassar sejak tahun 1988, tak pernah seperti ini, maju kotanya, tinggi airnya. Ini "azab".
Wajar sekali dosen seniorku tadi (yang sangat terlambat tiba di Unhas karena hadangan-hadangan air di pelbagai tempat), murka di kelas atas "malapetaka" ini. Beliau tinggal di Perumdos Unhas di Baraya-Makassar, "Mana semua ilmuwan-ilmuwan ini, kenapa tak bicara sebelumnya akan ada begini, sekarang banyak ngoceh setelah kita semua sengsara!" ucapnya yang membuatku setengah tertunduk.
Bagiku, soal banjir di Sulawesi Selatan (Makassar, Gowa, Maros, Barru, dan Jeneponto) tiada lagi yang bisa kungomongkan. Saya hanya teringat kalimat seseorang, "Kita telah membayar mahal akan seluruh budaya konsumtif kita".
Mohon doa dari kawan-kawan Kompasianer se-Indonesia
Pray for South Sulawesi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H