Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perihal Pelanggaran Dosen di Kelas

17 Desember 2018   21:24 Diperbarui: 18 Desember 2018   07:32 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://poorvucenter.yale.edu/

Tahun 1994, penulis beranjak dari dunia mahasiswa, menuju profesi berdiri seorang diri di depan kelas. Ditatap-pandang dari puluhan sampai ratusan mahasiswa. Hadir pemusatan energi jasmani, otak, perasaan, performa dan psiko-motorik di sana. Dan, kegagalan maha besar bagi dosen ialah "Kegagalan Mengajar". Peristiwa semacam ini bagi pengajar profesional lebih parah, lebih perih dari "Kegagalan Cinta". Secara runtun, kegagalan mengajar itu memamerkan gejala-gejala perilaku alamiah mahasiswa.

Tanda-tanda alam itu berlambang: peserta kuliah nampak gelisah, posisi duduk yang berganti-ganti, meningkatnya jumlah mahasiswa acungkan tangan untuk izin ke toilet, ngantuk terselubung ataupun terang-terangan, sesering melempar padangan ke jendela, melakukan aktifitas yang tak signifikan dengan perkuliahan, menoleh ke kiri-kanan-belakang dan seterusnya. 

Sulit menemukan mahasiswa yang mampu bertahan -level konsentrasi stabil- dikuliahi selama 2 x 45 menit, sejajar dengan lama waktu dalam olahraga sepakbola. Bedanya sepakbola memiliki jeda alias turun minum sedang perkuliahan tak mengenal istirahat sejenak. Berjalan di menit pertama sampai injury time diawasi oleh wasit tanpa pluit dan bendera (CCTV), tanpa penonton, tanpa hore dan tanpa jersey. Kuliah dan mengajar itu. Keduanya gawean berat! Kusangat akui itu!

Karena mereka adalah anak-anak orang, dititip oleh orangtuanya supayalah menjadi lebih baik! Kerap kuinsyafi bahwa ilmu yang hendak kubagikan ini kepada mereka (di pagi, siang, sore, jelang petang) adalah semaian bibit, kelak ditanam oleh mahasiswa di luar sana, di pelbagai garis kehidupan, di beragam lini peradaban, di macam-macam lapisan masyarakat. 

Sepertinya ini amanah yang sungguh mulia sekaligus teramat berat dalam pikul, alot dalam takar, dan rumit dalam deret ukur. Pengajar amatir setia dengan prinsip: "Tugas dan kewajibanku mengajar, soal mahasiswa mengerti tak mengerti, itu wilayah mereka". Di sanalah beda jelasnya antara Mengajar dengan Mendidik. Terhadap pengajar profesional bermotto: "Takkan kuberanjak dari ruangan ini sampai engkau mengerti". Ini yang ideal atas nama sebuah pendidikan!

***
Tulisan edukasi ini memuat catatan-catatan pribadi penulis perihal kelemahan-kelemahan penulis dalam mengajar (menyajikan perkuliahan). Ada serentetan gundah saat menilai diri sendiri akan mahasiswa yang kurang berselera dalam menu mengajarku, tampilanku dan gerak-gerikku. Tanpa kusadari sekaligus kusadari kujumpai tujuh perkara yang tak seharusnya kulakukan, kusebutlah ia sebagai pelanggaran etika dalam perkuliahan:

Handphone

Ada ketat yang pernah kutitahkan kepada mahasiswa agar handphone itu minimal silent, maksimal OFF saat kuliah sedang ON. Aturan ini diskriminatif oleh sebab penulis seorang diri begitu leluasa menerima 'panggilan dan pesan'. Tak lama aturan ini, penulis timpakan kepada mahasiswa hingga dalam sebuah renungan senja, penulis bergumam: "Ini semua tak adil". Alasanku; karena handphone adalah instrumen komunikasi yang seluruh pemiliknya tanpa kecuali, sederajat dalam hal penggunaannya. 

Maka, di kesadaran baruku itulah, aturan itu termodifikasi atas nama perkuliahan dan kebutuhan tiap-tiap manusia akan komunikasi-informasi. Penulis membolehkan penggunaan handphone di kelas sekalipun mendapat respon negatif dari kawan sejawat. Alasannya penggunaan handphone dalam kelas mengganggu 'kekhusyuan' dalam perkuliahan. Tetapi penulis meyakini mahasiswa telah dewasa dalam menggunakan perngkat itu, mereka telah sangat mampu mengelaskan yang mana panggilan/pesan penting-urgent-emergency dan yang kurang penting.

Memunggungi Mahasiswa

Laptop dan layar pantul LCD adalah dua piranti, setia berhadap-hadapan di sepanjang perkuliahan. Telah menjadi adat dan adab bahwa pusat perhatian mahasiswa ada dua objek (dosen dan layar pantul), sedang dosen juga memiliki dua pusat perhatian (layar laptop dan mahasiswa). Penulis kerap 'membodohi' diri sendiri, menoleh ke layar pantul, pelan tapi pasti akhirnya memunggungi mahasiswa. 

Layar laptop-pun tertanggal tatap dariku. Dosen hanya boleh melihat layar pantul untuk memastikan posisi pantulan sempurna atau tak utuh. Juga tak diperlukan senter laser karena di laptop sudah lama difasilitasi 'senter' minimal kursor. Memunggungi mahasiswa, memberi ruang dan peluang kepada mahasiswa untuk tak fokus, juga meluangkan mahasiswa melakukan aktifitas non-akademik dalam masa 'memunggungi mereka. Dan, betapa lazim penulis saksikan ini, di acara-acara seminar ilmiah. Nampaknya habit ini berada pada tataran wajar dan tak wajar.

Unfreeze Yang Pernah Terlupakan

Penulis tak tahu diri sesampai sempat menganggap remeh-temeh akan arti pencairan pra-kuliah, Kurt Lewin menyebutnya Unfreeze (pencairan), jika di-amelioratif-kan, maka itu adalah episode penghangatan, pencairan, bina suasana, relaksasi. Nampak sesuatu yang ringan-ringan tetapi teramat berharga pada episode-episode perkuliahan. 

Menghangati mahasiswa dengan sapa-sapaan kecil adalah sebuah wujud perhatian, sewujud kemanusiaan antar sesama. Penulis meraba rasa, ada perbedaan signifikan antara melakukan unfreeze dengan tanpa unfreeze. Kuliah tanpa unfreeze laksana bernyanyi langsung di reff. Bahasa non-halusnya menyuruh orang berteriak saat ia baru saja terbangun. Jelas itu penjajahan tubuh, pelecehan anatomi dan fisiologi jasmani.

Doa Yang Terabaikan

Memori indah di masa Sekolah Dasarku, lantun do'a di penutup pelajaran oleh guruku adalah doa yang dibunyikan dalam hening. Terasa aliran energi positif menjalar di kesadaran jiwa-raga. Kian tinggi tingkat pendidikan, secara alami hal itu tak di-mainstream-kan, kultur itu tertanggal oleh variasinya argumen-argumen akan penghilangan doa usai belajar/kuliah.

Penulispun menuruti inginnya zaman, hendaknya masa dan kemauan kultur, hingga di setiap akhir kuliah. Penulis dalam bata-bata melafazkan kalimat: Alhamdulillah sembari usap wajah. Penulis lakukan ini lantaran prosesi kuliah itu ibarat perjalanan yang memiliki tujuan (arrival), anggaplah akhir kuliah itu adalah telah tibanya dosen-mahasiswa dalam satu perjalanan panjang nan melelahkan. Maka, memuji Tuhan adalah sebuah kemestian. Itulah doa kesyukuran-keselamatan.
------
Makassar, 17 Desember 2018
Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun