Kumandang lagu Indonesia Raya itu, buatku merinding. Suara peserta 'Aksi Damai' bergelombang, seketika aku mengenang W.R.Soepratman. Hebatnya beliau menciptakan lagu heroik-syahdu-dinamik itoe. Di radius Patung Kuda-Jakarta, ribu-ribu pengunjuk rasa. Aku haru-biru pada NKRI. Mereka mencintai Indonesia Raya ini.Â
Seputar 5 (lima) drone mengudara. Memantau! Petugas pengamanan yang cukup ramah pada orang. Mentari kian terik, tiada surut mereka. Aksi berlanjut dan lanjut. Menuntut-menggugat pelaku pembakaran bendera tauhid di sebuah daerah, beberapa waktu lalu. Aksi itu di 2 November 2018, selepas sholat Ju'mat.
Kobaran-kibaran bendera tauhid menggamit langit biru, dan sempatku lirih saat satu-dua helai kain bendera bertuliskan aksara sakral bagi Muslim/Muslimat, menyentuh aspal, jatuh, tersungkur. Mayoritas 'pelakunya' adalah bocah-bocah, berikut remaja awal yang tak awas terhadap kesucian Kalimah Syahadah itu. Maka, aku terenyuh.Â
Meng-iya-kan seruan beberapa Ulama Dunia untuk -dibolehkannya membakar bendera tauhid- oleh penyebab kejadian-kejadian serupa di pegelaran aksi di sekitar Monas itu. Rasa-rasanya aku manut pada alasan-alasan ulama itu.
Lalu, kita (aku) menyeberang ke arah motif pembakaran. Maka, penulis tamsilkan bahwa ada 2 (dua) motif dalam pembakaran benda-benda, obyek, material: 1) Motif akan dampak sebuah benda di masa-masa datang, dan 2) Motif kemarahan-murka.
Jelas, di sini. Kita bermain psikologik, karena semua adalah emosi. Bakar-bakar tempat ibadah di Indonesia Raya ini, masihlah bercengkrama pada soalan-soalan emosi. Betapa berbedalah dengan dibakarnya sebuah masjid di jaman Rasulullah SAW, masjid itu didirikan oleh 'komunitas orang-orang munafik' yang hendak mengibuli umat Islam, dahulu kala. Rasulullah mendeteksi itu.
Lalu, inisiasi pembakaran bendera tauhid yang dilakonkan oleh sebuah ormas berseragam loreng swasta. Konkrit nuangsa emosi (marah). Kutak tahu apa itu bagian dari panjang-alotnya politik-politik di Indonesia Raya ini? Dan dilakukan dengan terang-benderang, diumumkan di segala penjuru media sosial.Â
Dari sudut berbeda, selepas bubaran. Kupulang ke 'rumah' dengan menggunakan ojek mobil. Driver-nya membuka kata: "Demo ini bikin kesssel. Kenapa mesti demo. Coba itu uang operasional demo disalurkan ke korban bencana. Ah, Indonesia kok gini!", sekira-kira itulah ucapan Mas berasal dari Salatiga yang ber-KTP Jakarta ini.
Kubutuh waktu diam, dan mulai menyingkatkan balasan: "Mas, Indonesia ini orang-orang baik. Hanya kerap kita lupa akan kekayaan budaya kita, termasuk saya".
Kian ke sini, kian belajarlah aku akan perbedaan 'mengalah' dengan 'kebijakan'. Kubelajar memahami atas segala motif atas rupa-rupa kejadian, macam-macam peristiwa dan jenis-jenis 'sejarah'. Tamsilan lagi, membakar baju seseorang yang kita sayangi-cintai yang sosoknya sudah tiada, boleh jadi motifnya agar yang ditinggalkan tiada tenggelam dalam lautan kesedihan dan perihnya hidup ditinggal 'kekasih'.
Ini juga motif psikologi, ada emosi bermain di dalamnya tetapi bukan kemarahan melainkan motif humanism pada yang hidup. Sedang pada yang telah pergi, pengaruhnya tak lagi signifikan. Ini namanya belajar melupakan walau kita sedikit keliru bahwa belajar melupakan adalah juga belajar memulai mengingatnya.
Lalu, Kompasianer bertanya-tanya (mungkin?): "Anda ikut demonstrasi?". Oh maaf, ini hanya kebenaran/kebetulan belaka. Aku dalam pusaran kemacetan di sekitar Thamrin-Kebon Sirih dan sekitarnya. Oh maaf sekali, aku ke ibukota lantaran tiket untuk hadir di Kompasianival 2018 sudah kugenggam.
Sayangnya, temu blogger itu dimundurkan ke Desember. Itupun kalau aku tak salah. Kata istriku: "Kalau tak salah, kemungkinan papa benar".. Hahaha...! Pastinya: delay Kompasianival, toh pekan lalu itu, ada tujuan lainku ke ibukota (dikti) yang juga subtantif-penting dan perlu. Â Tiada salah pengelola Kompasianival 2018, dan semua akan baik-baik saja. Insya Allah.Â
***
Menoleh lagi di aksi di sekitar kolam bundar itu, jelang ashar, aksi terjeda. Dan, dengan berlelucon, seorang habib di atas mobil bermimbar itu berseru: "Saudara-saudara kita segera sholat ashar, silakan berwudhu. Air kolam itu juga bisa dipakai". Peserta demo ngguyuh! Dan, akupun sempat bergabung sebagai makmum di sholat wajib bagi umat Islam itu.
Berikutnya, kutak berharap ada yang mem-persepsi-kan jikalau judul artikel ini dalam aroma bombastis. Gak! Itu yang kulihat, di depanku. Bendera itu tersungkur. Dan seorang ibu agak marah-kesal pada anaknya yang bermain-main dengan bendera itu, hingga terlepas dan jatuh ke tanah/aspal.
Selanjutnya, lahir naluri antropologiku bahwa menyertakan anak-anak dalam aksi-aksi apa saja, karena itu aksi orang dewasa. Anak-anak kita turut berterik-terik, kadang teriak dengan lengkingan khas anak kecil, selamanya kurang etis. Itu budaya buruk tapi tak negatif.
Lantaran buruk dan negatif berbeda makna dalam kuliah-kuliah antropologi. Karena, bisa jadi orang-orang tua membawa anak-anaknya ke zona demonstrasi untuk sebuah 'pembelajaran dini' akan arti-arti Islam dalam segala makna-makna, lambang, harkat dan kultur.
----------
Makassar, 6 November 2018
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H