Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerdas Bersyukur di Kompasiana

11 Februari 2018   19:37 Diperbarui: 11 Februari 2018   20:22 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak hendak sama sekali untuk tawarkan panen kontemplasi ini. Namunnya, selaku Kompasianer yang telah sepuh-renta-old di media ini, maka tiada kelirunya jika share perasaan dan empirik kepada kawan-kawan yang budiman. Beginilah semestinya seorang penulis yang berharap kultural literasi tetap bisa disayaplebarkan. 

Cerdas bersyukur rupa keperluan bagi seorang penulis! Syukur-syukurlah bila mendapat ide menulis, itu ilham! Kita mau apa jikalau ide itu tak datang-datang. Sekalipun berlaksa pandang dan rasa; terhadap sumber-sumber ide di seputaran kita (atas-bawah-kiri-kanan-terselubung), tiada makna apa-apa energi ide itu jika kita gagal mengaksiomakan deretan ide itu. 

Mati suri, layu, sesal! Hingga terima atau tolak bahwa ide itu rejeki yang sangat pantas disyukuri dan diterimakasihkan kepada Pemilik Semesta Alam. Itu teknik memanjakan hati, merawat kalbu, jua mempercantiknya dengan 'jalan syukur'. Itu bahagia, tak dijual di supermarket atau warung-warung. Syukur itu sendiri telah menjadi 'mata uang'untuk membeli kebahagian dalam ruang-ruang batin para penulis. Soalan syukur itu ialah rekomendasi pada tiap-tiap agama, dan kali ini penulis arah-aruskan pada soalan syukur dalam kepenulisan.

Teman yang baik, tetaplah teman yang baik. Ada satu teman baik lainnya ialah berteman dengan ide, bersahabat dengannya, berinteraksi-berdialog kepadanya. Kesannya imajinasi! Tetapi tiadakah kita merenung bahwa peristiwa-peristiwa nyata juga dari seputaran khayalan? Ide adalah wajah abstrak, jika dikonversi ke tulisan nyata (Fiksi-non fiksi, reportase-non reportasi, opini-non opini), maka itu digelari sebagai sebuah pekerjaan besar yang tuntas sudah. 

Penulis mengalokasikan judul tulisan dengan menempeli label Kompasiana agar lebih terang warna tulisan ini sedang disuguhkan untuk warga dan keluarga Kompasiana. Sekalipun tulisan ini sifatnya general, bukan hanya di media ini. Tetapi penulis dari Timur Indonesia ini (gaya lama, red) tak akan melepas label K (Kompasiana) itu. Mengapa? Jawabku: "No answer!".  

Sedari tahun 2011, jika ditanya tentang "Aku dan Kompasiana", jawabku konsisten: "No answer". Makanya 'loe no question-lah ke gue!'. Konsisten ini adalah rejekiku, bukan? Alhamdulillah kubersyukur. Begitulah jalan kepenulisanku di sini! Tidak menyanjung kok, ini perkara penerimaan perasaan dan serentetan logika dan fakta. Fakta? Ya, fakta bahwa media ini gemilang memberi lumbung pertemanan berikut interaksinya. Interaksi lintas agama, etnik, ras dan antar golongan. Itulah relasi kemanusiaan kita, bukan?

Berikutnya, terhadap penulis yang beranggapan bahwa seluruh piranti material atapun non-material yang memiliki daya dukung terhadap persalinan artikel, maka ia tentu menjaga baik-baik alat inderanya. Nah, kita yang memiliki alat indra yang sempurna atas Kreasi Allah SWT, koalat kita jika tak mensyukurinya. Karena "merekalah" membantu kita untuk lahirnya sebuah tulisan. 

Penulis hanyalah eksekutor, sedang mereka adalah infra-struktur bahkan supra-struktur. Jangan remehkan rangka-rangka anatomi kita ini, jangan entengkan sel-sel otak, jangan pinggirkan aneka fungsi jemari-kuku-kulit-kornea dan seterusnya. Saya dan Anda sama sekali bukanlah siapa-siapa tanpe 'mereka'. Analoginya, tak dinamai seseorang tukang batu jika tiada pasir, semen, sendok, sekop, jedar, meteran, paku, tali. Ember! Hehehe...

Perkara lain yang sangat disyukuri adalah pelan-pelan mengusir rasa sombong. Penulis pernah rasakan bagaimana diserang rasa sombong saat mulai/awal-awal menulis di media ini. Puncaknya saat dihadiahi selaku Kompasianer of The Year 2015. Jujur saja, penulis kesusahan pasca bergelar setinggi itu. Kerap kumerenung (saat itu), rasanya lebih enjoymenjadi penulis kebanyakan. 

Tak perlu berlelahan mengelola perasaan yang 'me-wah' (tetap baca me-wah, asal katanya Wah). Pongahlah Si Armand itu, seolahlah ia sendirian di media ini, tiada tanding, kala itu! Jujur lagi, saat menerima award itu, penulis syukuri. Tetapi syukurku dua kali lipat saat mendiskualifikasi kesombongan di diriku: "Siapalah saya ini?", itu salah satu ucapan penghancur rasa negatif itu.

Berhasil atau gagal menulis bedanya tipis sekali sobat! Sobat juga pahami dan rasakan itu! Sekadar kembali mengingat-ingatkan saja, sayanya! Beberapa perihal hubungannya dengan artikel, Anda gemilang dan berhasil melayangkannya tetapi beberapa perkara juga yang membuat Anda gagal total menciptakan/menemukan/meramu tulisan. 

Anda gagal, syukur. Anda berhasil, lebih bersyukur lagi. Pameonya; gagal saja disyukuri, apatah lagi berhasil. Gagal memang identik dengan tulisan tertunda. Tertundanya adalah modal pelajaran, bahasa lebih agamisnya adalah HIKMAH. Kepada yang memang menjiwai hiruk-pikuk menulis, maka selalu ada cerita baik baginya. Ia syukuri akan segala itu, sebagai mesin pembangkit dalam menulis untuk menjaga generasi yang kangen akan lestarinya kebudayaan menulis/tulisan, agarlah menjadi artefak setelah penulisnya telah tiada. Karena 'penulis telah tiada' itu adalah pintu absolut bagi yang bernyawa, termasuk saya dan Anda!

Hal lain yang pantas disyukuri adalah hadirnya kata "Paksa" di kehidupan ini, di kehidupan penulis. Menulis juga perlu dipaksa-paksa, jika tiada paksa-paksa, maka sampai batu berakar tulisan takkan lahir-lahir. Begitu ironiknya seorang penulis! Dan begitu luasnya perkara-perkara (kecil-besar) yang berpinta syukur. Sobat tersayang, artikel ini cumalah pola. Ada pola, potensi dikembangkan, dimodifikasi oleh sesiapapun. Syukur,.. Syukur,... Syukur...

Panjang-panjang nulis gini, intinya cuma dua: 1). Cerdas-cerdaslah bersyukur. 2). Paksa-paksalah untuk menulis! hahaha

---------------------
Makassar, 11 Pebruari 2018
@m_armand kompasiana
Salam Santun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun