Anda gagal, syukur. Anda berhasil, lebih bersyukur lagi. Pameonya; gagal saja disyukuri, apatah lagi berhasil. Gagal memang identik dengan tulisan tertunda. Tertundanya adalah modal pelajaran, bahasa lebih agamisnya adalah HIKMAH. Kepada yang memang menjiwai hiruk-pikuk menulis, maka selalu ada cerita baik baginya. Ia syukuri akan segala itu, sebagai mesin pembangkit dalam menulis untuk menjaga generasi yang kangen akan lestarinya kebudayaan menulis/tulisan, agarlah menjadi artefak setelah penulisnya telah tiada. Karena 'penulis telah tiada' itu adalah pintu absolut bagi yang bernyawa, termasuk saya dan Anda!
Hal lain yang pantas disyukuri adalah hadirnya kata "Paksa" di kehidupan ini, di kehidupan penulis. Menulis juga perlu dipaksa-paksa, jika tiada paksa-paksa, maka sampai batu berakar tulisan takkan lahir-lahir. Begitu ironiknya seorang penulis! Dan begitu luasnya perkara-perkara (kecil-besar) yang berpinta syukur. Sobat tersayang, artikel ini cumalah pola. Ada pola, potensi dikembangkan, dimodifikasi oleh sesiapapun. Syukur,.. Syukur,... Syukur...
Panjang-panjang nulis gini, intinya cuma dua: 1). Cerdas-cerdaslah bersyukur. 2). Paksa-paksalah untuk menulis! hahaha
---------------------
Makassar, 11 Pebruari 2018
@m_armand kompasiana
Salam Santun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H