Budaya terbaru dalam zona transportasi. Angkut orang dari Titik (A) ke Titik (B). Dan, culture itu sesungguh-sungguhnya amatlah dinamis. Selaku pengayuh mesin, Kompasianer Makassar ini kembali mengumandangkan riuhnya driver Go-Jek akan ancaman laten SUSPEND. Bagi driver yang menerima pemutusan mitra dari PT.GI (Gojek Indonesia) populer dijargon dengan ensiklopedi "KUE SUS". Semacam hadiah yang tak diinginkan. Fakta teraktual (kini): Rating di bawah rerata 4 (empat), mesin/sistem akan mencabut hak driver untuk narik lagi. Inilah yang kusebut dengan "Perang Bintang". Di situlah lini masa sesal-kesal-galau bagi seorang driver sepertiku.
Budaya low-cost, high service
Go-Jek masuk di Indonesia, diinisiasi oleh faktor antropologi jua. Awut-awutannya sistem transportasi kita menjadi peluang besar bagi Nadiem Makarim cs untuk memanfaatkan kecerdasan pengamatannya di zona jalanan raya, plus zona kemacetan yang juga selalu berinovasi dan dinamis. Penulis pahami bahwa seorang Nadiem tak diwarnai keilmuan formal tentang antropologi transportasi hingga kebijakan PT.GI kerap-kerap memanen kritikan dari para mitranya. Kompasianer Makassar ini, cukuplah memahami bahwa PT.GI bukanlah perusahaan transportasi melainkan perusahaan teknologi.
Penulis belum pernah melihat perkara-perkara seperti ini selain di dunia transportasi star-up sejenis Go-Jek atau GO-CAR. Perkara perseteruan antara driver dan pelanggan. Ada kekacauan simbolitas di sana sebagai cermin budaya yang terlanjur melabeli warga Indonesia -yang polanya bermain di area subjektifitas dan area baper- sebagai refleksi kecirian Rakyat Indonesia. Bahwa nasib driver Go-Jek dan GO-CAR sangat bergantung pada salah satu unsur terjadinya SUSPEND. Ialah bernama RATING. Sesiapa Driver Go-Jek/GO-CAR menjumpai rating <4, itu alamat 'sakratul maut' bagi driver. Sebuah rating yang sesungguhnya skewed. Rate: Bintang 1-2-3-4-5, dengan mengambil cut of point (4) adalah angka statistika yang abnormal. Skala ini memang cocoklah untuk Likert Scale yang memosisikan perasaan di atas segalanya.
Perang Rating! Dan jua Perang Perasaan! Seumpamaku, membawa customer (GO-RIDE), itulah zona was-was dan grogi karena driver tak mengenal customer, pun sebaliknya. Perjumpaan 'baru' itu, secara psikologik saling menilai. Fakta lain, customer-lah 'pemenangnya'. Di sini sangat jelas dijumpai Budaya Tak Setara. Pada customer yang sulit ditebak apa maunya. Sedang pada diri driver all size. Diminta kencang, harus rela mengemudi kencang demi menghindari rating rendah yang berakhir pada KUE SUS. Ribetlah urusannya jika ter-SUSPEND, sebab sistem jelas-jelas berbicara. Bila ada order masuk (AUTO BID) maka dalam hitungan detik akan tertera tulisan seperti ini: "Maaf booking Anda gagal. Anda tidak bisa menerima order karena telah di-suspend oleh manajemen GOJEK dst"
Budaya suspend di manajemen Go-Jek ada dua: suspend manual dan suspend otomatis! Bila customer ingin mengerjain driver, mudah baginya untuk melakukannya. Cukup memberi Rating 5, tetapi memberi komentar feed-back seperti ini: "Wajah driver berbeda dengan foto di akun Go-jek-nya". Komentar sakti ini telah cukup membungkam si pemilik akun Go-Jek yang diberi tanggapan itu. Ini namanya suspend manual, manajemen telusuri komentar itu, dan menjatuhkan pemutusan Mitra. Pada driver Go-Jek atau driver GO-CAR, perlakuan rating tiada beda.
Budaya Driver Berharap Tip
Ini sebuah 'Perang Bintang' lagi dalam versi berbeda. Driver kerap-kerap mengisahkan buruk customer yang tak memberinya dana tambahan (tip). Ini satu cermin budaya klasik yang masih terus berkembang di tanah air dari 'komunitas Go-Jek'. Pada driver tertentu berani terang-terangan memberi ekspresi yang gontai, jua paras yang kecut pada customer bila diberi jasa sesuai yang tertera di aplikasi. Terbuka saja, sayapun kerap-kerap seperti itu, dan saya anggap itu keliru alias tak bekerja secara profesional. Indonesia ini memang 'cukup kacau', kerap-kerap berharap upah maksimum pada kinerja yang minimum. Senyatanya, input-proses-ouput itu mestilah berjalan. Tiada menambahan, pun pengurangan di dalamnya. Bila pengantaran GO RIDE yang Bahasa Makassar-nya "Odong-odong", berjarak 0,1 Km-10 Km, pastilah jasanya Rp.15.000 (lima belas ribu), ini untuk Wilayah Makassar-Sulawesi Selatan. Driver menerima cash 15.000 dan di-rekpon (rekening ponsel dikurangi Rp.3.000 oleh PT.GI). Praktis driver menerima Rp.12.000 'saja'. Itulah hukum manajemennya, dan juga hukum tertulisnya. Hukum-hukum lain berharap imbalan lebih adalah sebuah hukum memperlebar cara kerja yang amatiran (versiku).
Budaya kecurangan driver dan customer
Penulis yang sempat diberi reward Kompasianer of The Year 2015 lalu, termasuk driver penyabar tetapi diikuti omelan dalam batin. Omelan batin itu bila diculasi oleh customer, ia letakkan Titik A (benar) tetapi Titik B (salah). Dari sekian-sekian customer ada yang sengaja melakukannya. Contoh ekstrimnya, sesungguhnya ia hendak diantar sampai Terminal Depok tetapi ia letakkan Titik B di Kampus UI. Yang beginian, penulis tidak anggap serius dalam ucapan, tetapi sangat serius di pergolakan hati. Jadi, kumemilih diam dan pur-pur bloon. Barangkali perilakuku ini menjadi alasan bagi Kompasiana menambahkan gelarku sebagai The People's Choice di Kompasianival 2015, lalu. Ha ha ha.
Bayangkan lagi sodara! Bila ada GO SEND dengan seperangkat sangkar burung ataukah sepaket balon ulang tahun. Penulis hendak bilang apa ya! Siapa yang sanggup menjamin sangkar besar beirisi burung akan baik-baik saja di sepanjang perjalanankah? Ataukah balon-balon itu diikat di penyanggah sadel motor. Ini sangat rentan meletus oleh gesekan pengendara lain, ataukah balon terkena panas knalpot, atau bisa jadi kalau gas balonnya kelewat kuat. Bisa jadi balon itu melayang bersama driver dan motornya. Hahahaha. Penulis tak menganggap ini sebagai kecurangan tetapi telah terjadi kesimpangsiuran soal unsur safety dalam area GO SEND.
Selanjutnya, perlukah penulis beretnik Mandar-Sulawesi Barat ini mengisahkan budaya curang driver? Wow, meluap-luap paragraf artikel ini sesampai pembaca takkan mengercitkan mata untuk membaca betapa luasnya kecurangan yang dilakukan oleh driver Go-Jek. Penulis tak lagi sedang memojokkan sesama driver, tetapi bila ditaksir kasar, maka seputaran 5%Â driver adalah curang. Kerap-kerap 5% ini menodai 95% driver lainnya. Demikian pula customer, minoritas pelanggan curang telah menistai 95% pelanggan yang baik.
Perang Budaya
Argumentasi pokok hingga artikel ini kubingkiskan untuk Kompasianer dan juga pembaca umum lainnya, bahwa di dunia transportasi online, sedang terjadi perang budaya yang sebahagian kecil telah kusemai di atas. Tetapi ada satu budaya yang menggetirkanku bahwa budaya masyarakat ini, masihlah belum beranjak dari budaya persepsi, budaya menilai bahwa job tukang Go-Jek itu di mata warga masih tergolong pekerjaan orang pinggiran. Kutahu itu karena telah terjadi perbedaan perlakuan ketika penulis bekerja sebagai driver Go-Jek, dan ketika selaku Driver GO-CARÂ dan ketika penulis bekerja sebagai akademisi di FKM Unhas dan FKM UPRI di Makassar. And those our socio-cultural!
-------------
Makassar, 10 Juni 2016
@m_armand kompasiana
Salam Antropologia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H