Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jangan Pernah Sangsikan Aku!

26 Januari 2016   20:53 Diperbarui: 26 Januari 2016   21:05 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Dokpri: Colonial Hotel, Makassar-Sulawesi Selatan (24-26 Januari 2016)"][/caption] Tertengger sebuah BBM! Ada kesan 'memfitnahku' akan perlahan mundur menulis di Kompasiana ini. Kubalaslah dengan kata-kata afirmatif: "Jangan Pernah Sangsikan Aku". Hingga kalimat ini menjadi judul artikelku, kali ini kawan. Adapun yang kutelisik saat-saat ini: Mengapa separuh penerima K-Award raib dari media ini? Jawabku: I don't know! Dengan pelan juga kukatakan bahwa kuenggan remehkan para voter-ku yang telah ikhlas mencentengi fotoku pada perhelatan pra-Kompasianival 2015 nan lalu. Para voter-ku adalah asset bagiku. Kuakan merawat relasi emosionalku dengan mereka, sebab kata populer dari setiap penerima penghargaan: "Tanpa mereka, kubukanlah siapa-siapa!". Banyak juga kalimat cetak tebal ya! He he he

Selamat bersua kembali kawan-kawan Kompasianaku, di seluruh jagad raya dan se-alam semesta. Menulis bagiku telah menjadi life style. Kutak bisa berkembang tanpa menulis, tak jua bisa bercermin dari beragam tulisan dan warta di media ini. Maka, kusebut menulis itu 'gaya hidup'. Apakah itu gaya hidup? Bisa diterjemahkan sebagai bagian dari hidup dan kehidupan. Dan itulah saya, Si Kompasianer yang berdomisili di Makassar-Sulawesi Selatan ini.

Alhamdulillah

Bukan hendak takabbur atau ber-waham, tetapi sejujur-jujurnya kukatakan: "Kompasiana adalah aku, dan aku adalah kompasiana". Apakah berlebihan kata-kataku ini? It's depend on kawan-kawan aja. Pastinya, sulit 'mencari alasan' untuk mangkir dari media ini. Sejarah-sejarahnya tak mudah kulupakan ataukan tak gampang menghapus jejaknya. Dan, alhamdulillah. Penulis kembali ke sini lagi, setelah beberapa hari disandera oleh aktifitas akademik. (Lihat foto di atas, mudah sekali kawan-kawan mengenaliku, bukan?). Kegiatan itu akan berlanjut di kampus kami, di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, pekan-pekan ini dan pekan-pekan ke depan.

Menjadi alasan untuk ber-alhamdulillah pada dua hal bagiku: 1). Selesai makan dan 2) Selesai menulis.  Nyaris dua perkara ini, kududukkan secara sejajar. Kurenung-renungi, mengapa pemeluk agama Islam mengucapkan alhamdulillah setiap selesai makan? Wow, ucap syukur itu bukan hanya lantaran adanya nasi-lauk-sayur-air minum. Tetapi (menurutku) berucap syukur karena kita difasilitasi gigi-geligi untuk mengunyah makanan, diberi tangan yang sehat dan bergerak untuk mengambil makanan dan memasukkan ke dalam mulut. Begitu juga, Tuhan memberi anugerah selera makan. Apa jadinya jika kita sebagai hamba-Nya tak dianugerahi selera makan!

Adapun soal menulis, sebelum-sebelum ini atau tahun-tahun silam, penulis tak sempat bersyukur bila menyelesaikan sebuah artikel. Itu keliruku, khilafku. Lalu, penulis belajar ber-alhamdulillah, bukan lantaran semata, adanya artikel yang kurakit tetapi lebih dari itu ber-syukur ria atas masih berfungsinya jemari ini menari di atas keyboard. Bersyukur maning atas masih bergunanya mata ini, bokong untuk duduk, siku-siku yang setia menyanggah, nafas-nafas masih aktif keluar-masuk, dan lain sebagainya. Bagaimanalah jadinya bila fungsi-fungsi anatomik tubuh kita ini, telah menghilang fungsi-fungsinya. Boleh jadi kita tetap akan menulis, namun butuh kiat sangat khusus. Menjadi alasanlah mengapa Kompasianer ini berkomitmen untuk mengucap syukur atas sarana gratis dari Tuhan Maha Mulia.

Ancaman Laten Bila Tak Menulis

Ini opini pribadi saja, juga tergolong amatan perilaku sendiri, bahwa bila penulis menjeda artikel beberapa lama, maka hadirlah kekakuan-kekakuan saat akan menulis lagi. Jauh dari itu, penulis juga merasa ketinggalan interaksi, tak melihat atau blind spot atas apa yang sedang terjadi di Kompasiana. Maka, baiknya kukatakan lagi, berlama-lama menulis karena unsur kesengajaan adalah sangat berbahaya bagi pertumbuhan ide, perkembangan literasi dan juga 'liter-liter' lain, seumpama liter adaptasi, meteran kekuatan menulis dan juga metrik pencapaian-pencapaian. Ini pendapat pribadi sesuai aspek peng-alam-anku loh masbro-mbaksis!

Well! Anggap aja artikelku ini sebagai artikel kerinduanku kepada 'kalian' dan juga admin Kompasiana plus silent reader and visitor. Kuhanya ingin membela diriku bahwa kutakkan raib dari media ini, sekuasaku. Dan atas perkenannya Ilahi Rabbi. Kupahami bahwa Allah memiliki 'visi' atas semua ini dan atas kerelaanku menulis di Kompasiana. Beberapa pendapat menisbahkan bahwa raihan Kompasianer of The Year 2015 adalah akhir dari segalanya. Dan, lagi-lagi kutak jumawa, penulis justru berkata bahwa Kompasianer of The Year adalah awal dari segalanya. Semoga kata-kataku ini, dikuatkan oleh alam-bumi dan langit. Terutama dikuatkan oleh Sang Pencipta atas segalanya. Moga-moga kuterhindar dari keangkuhan, moga jua lidah-hati-pikiran-tindakanku mendekatkanku kepada lajur-lajur kebaikan. Wallahu a'lam!

Makassar, 26 Januari 2016
Salam Kompasianaku
@m_armand

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun