Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hati-hati Menulis di Kompasiana

21 Januari 2016   09:10 Diperbarui: 27 Desember 2016   19:18 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="m.sooperboy.com"][/caption]Dau ratus tiga puluh ribu member. Ini cermin besarnya Kompasiana. Mengalir deras artikel di sini. Menjadi alasan buat penulis untuk ketat mengawasi artikel sendiri. Tiap-tiap penulis wajiblah 'menyerahkan diri' pada himpunan besar di media ini. Karakter berjuta rasa, butuh beratus-ratus kewaspadaan agar kita sebagai penulis tetap pada rel, full control agar tak mengundang decak tanggapan yang merongrong penulis atas ulah kita sendiri.

Barangkali tak keliru bila kita disiplin menjaga ritme di media ini. Mengapa? Karena media ini sudah masuk dalam kategori interaksi amat dinamis! Bila tak pintar-pintar merawat unsur emosional, maka itu akan sangat berbahaya bagi penulis di sini. Hingga tiadalah over acting bila saya memberi judul artikelku seperti yang tertera di atas. Jalanan di Kompasiana tidaklah sunyi! Hiruknya artikel, pikuknya komentar, berpotensi untuk terjadi gesekan-gesekan psikologik. Gampang-gampang susah untuk mengontrol semua ini.

Ada sebuah kisah yang terjadi sepekan lalu, penulisnya bermaksud memuji. Yang dipuji malah kesal dan terkesan marah ringan. Kedua penulis tiadalah keliru, yang satu berhak menyanjung, satunya lagi berhak menolak. Ini tak lazim sesungguhnya dalam zona psikologi. Sanjungan itu adalah 'gloria', semua manusia tak bisa menyangkalinya. Ini bawaan genetika manusia! Inilah yang kumaksud berbahaya, sebab penulis yang menyanjung itu bermaksud baik, bertujuan mulia; saling membesarkan spirit dalam menulis. Tentunya!

Simpulannya, keduanya kecewa. Ini tak boleh terjadi andai yang disanjung itu sedikit menunda 'kemarahannya' sebab setiap orang/penulis berhak memuji penulis lain. Juga berhak untuk mengkritik penulis lain. Ini memang manusaiwi dan wajar-wajar sajalah. Penerimaanlah yang kerap sulit direlaksasi. Sangat berbahaya memang jika 'baper' di Kompasiana. Kerap-kerap juga kumiliki itu, tetapi kusering-sering juga untuk belajar dan latihan menghadapi sikon kekinian di Kompasiana. Kompasiana memang media 'panas'. Media ini tiada pernah luput dari perselisihan-ketegangan-konflik dan turunannya. Penulis memandangnya sebagai hal positif-produktif. Kukatakan saja, Kompasiana besar disebabkan oleh 'perkara' yang satu ini.

Kisah yang lain, seorang Kompasianer rajin membuat artikel 'analitik', mengulas sedemikian rupa berdasarkan analisis pribadi tentunya. Ya analisis pribadi yang diumumkan (publish). Kisah itu memilukan karena seseorang memberi komentar panjang di tulisan itu. Katakanlah, tanggapan itu counter attack! Penanggap itu memohon kepada penulis agar berhati-hati dalam menganilsa yang bukan di bidangnya, bukan ahlinya. Saya takkan tautkan link-nya karena itu sama saja menyinggung penulisnya dan berpotensi membuka ruang 'perang'. Teramat banyak kisah -mimpi buruk- yang telah mengajari kita di sini. Sayang, kita enggan mendalaminya sebagai sesuatu yang amatlah berharga. Kita tak mendapatinya di ruang kuliah, di bangku sekolah, di pos ronda, di majelis-majelis, di seminar-seminar, di diskusi-diskusi. Tetapi di Kompasiana, kite temukan semua itu. Moga kalimatku tiadalah takabbur!

Selanjutnya, Kompasiana benar-benar sebagai super market, pasar tradisional, pasar rakyat. Orang-orang tawar-menawar, orang membeli sesuai selera, dan orang-orang berbicara sesuai keinginan dan juga kebutuhan. Izinkan juga kuberkata, bahwa bolehlah kita memberi saran kepada calon pembeli untuk tidak membeli ini dan itu. Konkritnya, di Kompasiana ini, kita punya selera baca berbeda-beda, selera menulis juga tiada yang sama. Mirisnya jika ada penulis, menjelek-jelekkan artikel orang lain. Dasarnya; walah tulisannya begitu-begitu saja, itu-itu aja! Memang kenapakah? Adakah yang salah dari tulisan 'yang itu-itu saja?"

Bila berandai-andai dan 'berlebih baik", maka lebih baik artikel 'yang itu-itu saja' daripada dipaksakan untuk tidak itu-itu saja dan merakit tulisan yang justru mengundang kehebohan negatif. Kita memanglah sama-sama belajar menulis di sini. Dan ada cara belajar lainnya: belajar memikirkan artikel sebelum menjadi konsumsi pembaca, juga belajar mendewasakan diri secara perlahan, pun belajar memberi penghormatan pada diri sendiri dan juga penulis lain. Ingat sebuah kalimat sakral berikut ini: "Tiada yang bisa melukai Anda, kecuali Anda sendiri"

Makassar, 21 Januari 2016
Salam Kompasiana
@m_armand

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun