[caption caption="Duo anugerah: The People Choice and Kompasianer of The Year 2015"][/caption]Kumulai artikelku, bersandar pada Allah Azza Wa Jalla-jua, pun Rasul-Nya. Berharap sungguh ditepikan dari riya'nya batiniah. Dan, relakanlah artikelku ini mengalir dari hulu ke muara dengan se-naturalnya. Penulis mestilah berkata bahwa timing-nya barangkali kutuliskan ini, kunanti sesampai reda-redanya girang-gembira pasca Kompasianival 2015. Kelewat lama kupikirkan artikelku ini. Satu perkara yang sangat ingin kuhindari, yakni: hadirnya persepsi bahwa Kompasianer dari Timur Indonesia ini terkesan euforia-narsistik-lebay. Semua itu nampaknya berkesudahan dengan ucap: Harus Malam Ini. Ya, "Harus Malam Ini"
Meragu di permula
Semulanya, kutemukan www.kompasiana.com, kala itu, penulis berselancar di www.kompas.com! So, sesungguhnya kompas.com yang wajib kuhaturkan terima kasih atas pertemuanku dengan Kompasiana. Ya, di 8 Maret 2011, silam! Pertanyaan generiknya: "Ini apa? Mengapa banyak orang menulis di sini?". Jelaslah, kutanyakan itu karena girang menemukan sebuah channel untuk meneruskan kegemaranku yang suka menulis. Lalu, kutulis artikel perdana: "Artikel Pertamaku di Kompasiana". Kuyakini, visitor akan mengucapkan 'Selamat Datang". Benarlah itu! Kudisambut bak manusia yang baru lahir, disenyumi, di-spirit-kan, dan juga dihangati.
Penulis memang ragu, sebab penulis telisik-telisik, dua-tiga orang kukenali sebagai penulis koran nasional. Lalu, kukuatkan jiwaku, ini tantangan buatku. Serupa bagaimana-bagaimanalah, kuharus menulis di sini. Terlanjur juga penulis dijuluki sebagai 'pengembara' oleh kalangan keluarga. Mestilah spirit yang menggelorakan jiwaku itu, ku-matrikulasi di blog berjamaah ini kawan. Duh, artikel ini kok kayak 'Pidato Kejuaraan". Oh tentu tidak kawan! Malah, selepas menerima Kompasianer Award dari Pak Pepih Nugraha-Mas Iskandar Zulkarnain, penulis bergegas kembali ke hotel, dan selekas sujud syukur sesuai keyakinanku, Muslim. Setelahnya, penulis memutar lagu-lagu rada sedih: Arab (Ahlal Donya-Elissa), Sunda (Nia Daniaty), Bugis (Shale AS), Mandar (Badri Rahman), Minangkabau (Ratu Sikumbang), Batak (Eddy Silitonga), Boulevard (Dan Byrd) etc. Ini memang formula psikologi yang penulis pernah ajarkan kepada mahasiswaku, 20 tahun, silam. Penulis bisa dibilang tercapai tujuan untuk kepentingan equilibrium jiwa. Inilah 'jalan sunyi' bagi penulis dari Sulawesi Selatan ini. Bahwa, kelak atau kini, bila bersedih, mesti ada equalizer-nya. Pun bila riang, juga butuh stabilisator. Agar tak mudah tersandung dalam lembah perasaan yang justru berpotensi terjadinya lose-control dan kecelakaan pergaulan dan bahasa/ucapan.
***
Berikutnya, penulis tetap bergembira menulis di Kompasiana, di 2011 itu. Suka-duka, itu mutlak adanya. Penulis kuat-kuatan untuk taklukkan segala barrier dalam menulis. Kadang-kadang juga down. Tetapi kerap-kerap bersuhu tinggi untuk tuangkan segala pikiran, empirik dan rasaku/emosi.Â
Planet Kenthir
Hipokrit-lah penulis, bila tak menyebutkan sebuah komunitas kocak di sini. Dialah Planet Kenthir, didirikan oleh Agil Abd Albatati. Ada magnet yang membuatku berada di komunitas itu, yakni membernya bebas berseliweran, independen, bebas parkir, bebas keluar-masuk. Inilah komunitas yang 'membesarkanku' di Kompasiana. Dengan segala lebih-kurangnya, penulis tetap di sana. Dengan segala aktif-pasifku, penulis lagi-lagi tetap di sana. Ada satu rel, yang menyambungkanku dengan Planet Kenthir, yaitu: ber ha ha hi hi. Dan, bakat gila-gilaku juga tersalur di sana.
[caption caption="Ternyata COO Planet Kenthir Itu, Tabiatnya Cengeng"]
Di awal berdirinya hingga di penghujung 2015, komunitas ini memang lekat dengan hambur-hambur canda, kerap-kerap di-violentif oleh beberapa warga yang kurang setuju akan kehadiran Planet Kenthir. Tetapi lagi-lagi, penulis tetap di sana. Memantau dari kejauhan kalau-kalau PK diperlakukan di NAB (Nilai Ambang Batas), namun alhamdulillah, Selsa-Herry Fk-Bain Saptaman masih cukup menggunakan akal dalam membentengi Planet Kenthir. Ya, penulis merasa tenang.
Fans Prabowo Subianto-Joko Widodo