Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kisah Penghapusan Skripsi di Perguruan Tinggi

23 Mei 2015   07:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:42 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_419547" align="aligncenter" width="400" caption="Menyusun Skripsi | female.kompas.com"][/caption]

Menristek dan Dikti, RI, Muhammad Nasir merancang penghapusan skripsi di perguruan tinggi! Alasannya; jual beli ijasah dan jiplak-menjiplak skripsi masih marak, semua disebabkan atas nama kelulusan, cara-cara devian serupa ini memanglah menjadi momok di perguruan tinggi. Belum jelas apa subtitutor skripsi yang akan dihilangkan itu. Sebagai Kompasianer Makassar sekaligus abdi akademik di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan turut prihatin atas gagasan pak menteri. Apa kelirunya bila memberi tanggapan terhadap wacana pemberangusan karya mahasiswa akhir bernama skripsi itu!

[caption id="attachment_419466" align="aligncenter" width="300" caption="sumber gambar: www.okezone.com"]

1432338115472999823
1432338115472999823
[/caption]

Alasan yang kurang relevan

Kelewat lancang penulis bila mengatakan bahwa alasan pak menteri kurang relevan, penghapusan skripsi ditengarai adanya area curang-curangan, copy men-copy, paste mem-paste dan jua perdagangan ijazah selevel sarjana (S1). Inilah argumentasi dan fakta lapangan yang menjadi pemicu kuat akan dihapuskannya skripsi. Penulis terkesan dengan gaya pemikiran pak menteri bahwa ini adalah 'sanksi berat' bagi perguruan tinggi penyelenggara kurikulum (skripsi) yang ber-SKS itu. Bila penulis ber-analogi, jika orang-orang dikti banyak melakukan pelanggaran, maka dikti pun harus dibubarkan. Cukup keras feed-back penulis kepada pak menteri. Bila marak lagi perdagangan thesis dan disertasi, maka penulis menduga, pak menteri akan menghapus karya akhir mahasiswa S2 (thesis) dan tugas spektakuler kandidat doktoral (S3). So, gampang sekali bila ingin melakukan tindakan-tindakan penghapusan kegiatan akademik di kampus. Kita cukup men-setting perilaku non-akademia, termasuk penghapusan gelar profesor/guru besar. Terasa ada kejanggalan argumentasi pak menteri. Lain yang gatal, lain yang digaruk!

Bila hendak meniadakan skripsi, maka lakukalah kajian komprehensif, sisi buruk skripsi (bila memang ditemukan), kelemahan-kelemahan dalam pembuatan skripsi, hubungan dosen pembimbing/penguji dengan mahasiswa terbimbing/teruji! Di situ akan fair! Bila sangat berdasar untuk dihapus, ya monggo! Namun, penulis tetaplah konsisten bahwa wahana perguruan tinggi hadir untuk sebuah misi besar bernama edukasi. Maknanya, penulis sampai detik ini tiada akan setuju atas penghapusan skripsi. Sekalipun dibanding-bandingkan dengan kampus-kampus di luar negeri (Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan juga Singapura, dan lain-lain) yang telah lama menghapus skrispi. Tidaklah mutlak bahwa contoh-contoh di luar negeri adalah absolut benar dan baik. Penulis sertakan sebuah fakta saat penulis lepas dari Strata Satu, penulis bertemu dengan peneliti muda asal Jepang. Awalnya penulis inlander dengan peneliti muda Jepang (karena bermerek luar negeri), yang terjadi justru sebaliknya, peneliti muda Jepang itu 'berguru' ke penulis tentang cara pemetaan masalah penelitian, teknik pembuatan kuesioner. Ini berkat pembuatan skripsi oleh penulis di masa S1.

Di mana fungsi riset pemula?

Pilar perguruan tinggi adalah penelitian! Wujud tulen penelitian itu adalah skripsi, mendeskripiskan hasil penelitian, cara berlogika mahasiswa Strata 1, teknik menyelesaikan problema peneltian, berkarya tulis yang runtut, pola kognitif dalam membahas dan trik-trik dalam meracik kesimpulan berserta penelusuran referentor yang sistematik. Bukankah segala ini, hingga skripsi masihlah menjadi top ranking dalam tugas penghujung seorang mahasiwa S1?

Penulis akui, ada skripsi benar, ada skripsi yang salah, ada skripsi yang baik, ada skripsi asal bikin. Ini diakibatkan adanya syarat yang secara administratif, bukan alasan akademik! Apa itu? Ya, selalu dicantumkan seperti ini: "Skripsi ini diajukan dalam rangka memenuhi syarat dalam gelar kesarjanaan", tak satu katapun yang menyebutkan bahwa skripsi ini diajukan dalam rangka menguji kemampuan mahasiswa dalam penelitian ataukah dalam rangka kebutuhan ilmu pengetahuan. Jadi, mahasiswa diuji karena faktor sarjana, memburu toga, judicium dan wisuda. Kita lupa bahwa sarjana itu adalah konsekuensi logis. Mirip-mirip dengan pengambilan SIM kendaraan, tes mengemudi di area samsat/polres dilakukan dalam rangka pengambilan SIM. Bukan dalam rangka menguji kemakhiran dalam mengemudi!

Gayalah yang diubah!

Skripsi memang perbuatan merepotkan mahasiswa dan dosen pembimbing/penguji. Tegur atau bahkan berhentikan dosen tertentu yang memang tidak memberikan bimbingan skripsi yang ideal, bekukan SK-nya sebagai pembimbing dan ganti dengan pembimbing lain yang lebih peduli. Ini yang pak mendikti wajib regulasi dengan baik, dosen-dosen culas (mungkin juga penulis) segera cambuk dengan sanksi akademis, karena lalai dari tugas dan kewajibannya.

Selanjutnya, berikan tugas kepada setiap kampus untuk mengevaluasi sejauh apa interaksi mahasiswa-dosen dalam proses pembuatan skripsi, penelitian dan kerjasama sebab skripsi memang perbuatan kerjasama antara dosen dan mahasiswa. Tidakkah lebih bijaksana bila setiap pembimbing 'menemani' anak bimbingannya di lapangan? Bukankah penelitian ilmiah di lapangan adalah sebuah praktik? Apakah bedanya dengan PKL yang mutlak menghadirkan dosen pembimbing?

Lalu, frekuensi sidang juga wajib ditinjau ulang, tiada perlu 3 tahapan (Sidang proposal, sidang hasil penelitian dan sidang tutup). Sidang proposal wajib ditiadakan, sidang hasil penelitian opsional dan sidang tutup wajib karena sidang tutup adalah ujian komprehensif dan kompetensi. Dasar pemikiran mengapa sidang proposal wajib dihilangkan sebab penentuan judul mutlak ditentukan oleh mahasiswa dan dosen pembimbing, tiada perlu kehadiran dosen penguji di sini! Apa yang mau diuji? Lah, mahasiswa baru berencana penelitian. Malahpun, saran-saran dari penguji yang penulis saksikan selama puluhan tahun lamanya, telah dapat diwakilkan secara utuh oleh dua orang pembimbing. Menghapus skripsi adalah kekeliruan, namun tak mengikuti kaidah-kaidah ilmiah dalam pembuatan skripsi, jauh lebih keliru!

Salam Kompasiana Pagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun