Presiden Joko Widodo-Megawati Soekarno Putri, jelas itu sangat layak dititeli 'perang dingin'. Sebuah perang antara Si Tukang Akrobat Cerdas Vs Si Lugu. Di mataku, Megawati itu sungguh cerdas, kecerdasaan genetiknya diperoleh dari sang ayah, Ir.Soekarno. Power-nya digaet dari sana! Megawati sedang bercanda, meminta kadernya untuk resign dari PDI-P bila ogah disebut "Petugas Partai". Mengapa dua kata "Petugas Partai' ini tiba-tiba bermakna rendah? Negatif? Inilah sebuah keanehan, sebab petugas itu maknanya mulia-agung. Bisa jadi karena arti partai di Indonesia sudah rapuh, lemah dan konyol. Hingga kata Petugas Partai itu sebuah 'hinaan kecil', perendahan apatah lagi jika seorang presiden disebut petugas partai. Salahnya di manakah? Untuk kondisi temporer, belum ada ensiklopedi populer-kontemporer yang mendefenisikan "Petugas Partai' sebagai hal yang melecehkan, sebab bila itu pelecehan maka yang dilecehkan itu adalah Megawati sendiri. Ya, Megawati pun petugas partai, Puan juga.
Penulis sendiri menyukai gaya bertutur dan kepribadian Presiden Joko Widodo. Mungkin juga Anda! Tak terkait dengan beberapa kebijakannya yang dipolemikkan massa. Beliau benar-benar orang Jawa! Wong Jowo! Ucapan beliau: "Kita Bikin Rame" saat debat capres, merupakan sebuah kalimat 'ajaib'. Terjadi begitu saja -sikon psikologik- di program debat capres yang super menegangkan itu. Walau sisi lain, debat capres, tidaklah signifikan dengan perolehan suara, sebab kita negara demokrasi kamuflase-negara berkembang (bila enggan disebut negara terbelakang, mungkin kita malu). Kamuflase oleh karena kita lebih trend melihat sosok ketimbang visi-misi calon presiden, ataukah gubernur, rektor dan wali kota/bupati dan seterusnya. Demokrasi kita masih latah pada orientasi kuantitatif. Soal kualitatif demokrasi, kita belum disentuhnya. Masih mengandalkan kekuatan 'banyaknya' bukan pada 'mutunya'.
[caption id="attachment_409507" align="aligncenter" width="300" caption="www.beritasatu.com"][/caption]
Senyatanya, berdasar pada tilikan psikologik, Megawati amat kecemasan bila kehilangan Joko Widodo, Mega main ancam-ancam ringan, karena ia tahu Joko Widodo tak akan melakukan itu, untuk out dari PDIP, bukan tipikal Joko Widodo. Joko Widodo 'pantang' membeli tantangan. Dalam kamus psikologi sosial, Joko Widodo 'pengidap' sosiotropik.
Tiada sedikit orang berwatak serupa Joko Widodo, disiplin dalam bermain safety, mengutamakan relasi-relasi sosial, tak ingin hidupnya dijibuni sejarah pertengkaran, keributan dan perselisihan-perselisihan. Sekalangan orang jadilah gregetan memandang profil Joko Widodo, 'kelewat sabar' dan terkesan penakut. Padahal soal berani dan penakut adalah hak semua orang, milik setiap individu. Yang berbeda hanyalah pada teknik penempatan. Kita bisa tuangkan analogi, seseorang yang telah melihat sekumpulan buaya kelaparan di sungai, orang itu turun ke sungai, berenang untuk menyeberang karena hendak disebut pemberani. Itu bukanlah pemberani tetapi super aksi konyol dan sebuah tindakan bunuh diri secara terencana.
Mega cerdas, Joko Widodo pun tak kalah cerdas. Firasat penulis, kedua tokoh mentereng ini, telah 'baku atur'. Sebuah setting apik dari seorang politikus dengan non-politikus. Penulis tertawa ringan, saat Mega membuat pernyataan yang artinya kurang lebih seperti ini; silakan exit yang tak sudi disebut petugas partai. Benar-benar sebuah politic game, ajang lucu-lucuan. Kenapa? Karena keduanya 'kakak-adik', bukankah Mega kerap menepuk-nepuk Joko Widodo sambil berucap: "Adik Jokowi?". Hemmmmm....fantastis!
Hebatnya terawangan kejiwaan dan teropong karakter dari seorang Megawati, sungguh piawai. Laksana menyuruh orang berpisah saat keduanya masih teramat-sangat saling mencintai.
Kelewat taqabbur penulis bila mengatakan bahwa Joko Widodo tidak bakal membuang diri. Beliau tidak akan keluar dari PDI-P atas warning Megawati, sebab Joko Widodo bukanlah tipe asertif! Itulah kelebihan sekaligus kelemahan seorang Joko Widodo, belum mampu menyatakan perasaan negatifnya secara blak-blakan. Joko Widodo suatu saat nanti akan keluar dari PDI-P tetapi dengan alasan yang sangat berbeda, sangat tidak berkaitan dengan Petugas Partai bernama Megawati Soekarno Putri itu. Akh, kian menari-nari saja para pelakon drama kolosal perpolitikan di tanah air ini. Nikmati saja, sebab kita memiliki kehidupan yang berbeda, perasaan tak sama, dan ruang yang juga berbeda. Bolehlah kita membujurkan bermacam-macam tafsir, namun segala itu hanyalah tafsir, tak se-otentik dengan orang-orang yang menjalaninya.
***
Akhirul qalam, penulis ucapkan selamat berlibur bersama keluarga kepada sahabat-sahabat Kompasianer dan Admin Kompasiana yang tak lelah menjalankan kewajibannya sebagai "Petugas Partai Kompasiana". Ha ha ha
Salam Kompasiana Sobat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H