Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[FR] Ini Rahasia Dacil Kampung

16 Juli 2015   03:40 Diperbarui: 16 Juli 2015   03:40 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru saja anak kecil itu menyudahi ceramah tarwihnya, jamaah berbondong-bondong memeluk anak berusia delapan tahun itu. Jamaah kagum akan ucapan-ucapan yang sistematis dari da'i kecil nan jadul itu. Tak seorang pun jamaah yang tahu jika sesungguhnya ucapan-ucapan da'i cilik itu hanyalah sebuah hafalan panjang. Saat dacil itu, dewasa bahkan sudah punya anak istri, ia terkesima saat menonton audisi da'i kecil di televisi. Karena ia termemori masa-masa kecilnya, dan ia yakin bahwa teknik pidato dacil moderen tak semudah jaman dulu. Ia menduga kuat bahwa dacil-dacil jaman sekarang adalah sebuah hafalan pula, batinnya!

Berdiri di hadapan jamaah untuk ceramah taraweh adalah pekerjaan orang tua, yang mudapun masihlah jarang di tahun 1980-an itu. Kala itu, beda. Anak lelaki yang dikenal nakal itu, malah ditonton oleh orang-orang di luar masjid. Sedang jamaah tak seorangpun palingkan padangannya dari sosok anak lelaki itu yang sedang urut-urutkan tausiyahnya ala anak kecil. Anak kecil itu memang telah dilatih keras oleh seorang Kyai asal Pasuruan. Anak lelaki itu, terdaftar sebagai santri di sebuah pesantren udik.

Kyai itu pun nyontek dari buku-buku dakwah, panduan-panduan khotbah, lalu beliau sortir dan menyuruh anak kecil itu menuliskan di beberapa lembar kertas, sekitar empat lembar telah terangkum, dan itu wajib dihafalkan sebelum tampil di masjid-masjid. Kertas itu tak selalu bersama dai kampung(an) itu, putra seorang petani desa, dari rahim seorang ibu yang kelewat ketat dalam urusan ngaji dan sekolah. Usai sholat subuh, angkat air di sumur nun jauh, untuk isi genthong sang guru dan juga genthong ibunya. Dalam perjalanan dari rumah ke sumur, di situlah anak kecil itu membaca dan menghafal-hafal ceramah yang telah dititahkan oleh Kyai Kampung itu.

Pemilik sumur yang airnya amat jernih itu, bertanya-tanya mengapa anak kecil itu berbicara sendiri sambil melihat kertas di tangannnya? Ia tak mengerti kelakuan anak yang terkenal bandel itu. Saat anak kecil itu membantu ayahnya di sawah, menyiangi rumput-rumput Bogor, kertas itupun tak luput dibawanya, dibacanya dan dihafalnya lagi.

Lalu tiba saatnya, persiapan menjelang tugas dakwah, di malam itu. Itulah pertama kali berlangsung dua kali ceramah tarwih dalam satu malam, ceramah pertama diisi oleh orang dewasa, ceramah kedua oleh anak kecil itu. Usai sholat isya, protokol mempersilakan penceramah pertama, cukup menarik tetapi dai kecil itu tak memperhatikan dengan seksama apa saja isi ceramah orang dewasa itu. Kenapa? Karena anak kecil itu sedang memikirkan nasibnya sendiri, jangan sampai mengecewakan gurunya ataukah orangtuanya.

Nampaknya, giliran anak bawang itu menaiki mimbar. Langkah-langkah kaki kecilnya diawasi oleh ratusan pasang mata di sebuah masjid raya di Polewali-Sulawesi Barat sana! Sangat meyakinkan! Ia mulai dengan kalimah-kalimah kesyukuran pada Sang Khalik, lalu minta izin mengirimkan sholawat kepada Rasul Allah, Muhammad SAW tak luput empat sekawan sahabat nabi. Meluncur dengan mulus kalimat-kalimat anak kecil itu, bahkan tangan kanannya mulai terangkat, telunjuknya pun mulai dimainkan. Terdengar suara anak itu di corong masjid membuat orang-orang di luar memadati pintu masjid dan menyaksikan kebolehan anak itu dalam menceramahi orang-orang tua, orang dewasa, ibu-ibu dan seumurannya, di dalam masjid yang cukup lebar dan luas itu.

Seorang pria setengah baya, memeluk erat anak itu dan membisikkannya: "Kamu harus ke Gontor!". Anak kecil yang dipeluknya itu hanya berbaju kaos oblong lengang panjang, kopiah kuning, dan sarung kecil jahitan ibunya. Masya Allah, da'i cilik itu disalami jamaah dengan salam sedekah, berupa uang dan ciuman. Itulah tonggak awal sang da'i cilik mengelana dari masjid ke masjid untuk sebuah siar Islam walau hanya sebuah hafalan. Pengalaman yang sangat bernilai itu, menjadi modal besar pula bagi sang da'i kecil dalam mengarungi hidupnya. Walau ia telah gagal jadi ustad! Setidaknya, ia paham bagaimana suka-dukanya menjadi pendakwah. Setelah dewasa, ia berprinsip bahwa dakwah tak harus jadi ustad, menjadi penulis di Kompasiana pun kita bisa berdakwah lewat tulisan! Begitu mungkin sederhananya! Wallahu a'lam bissawab.

Catatan:

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Ilustrasi: tebak sendiri.....hahaha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun