Tulisan dilirik pembaca jika seorang penulis membuka artikelnya di paragraf pertama, penuh kejutan. Ia suguhkan konflik ringan di awal tulisannya, ia menstimulasi pembaca di mula-mula. Itu sebuah rahasia besar seorang penulis. Amat terampil memancing perhatian pembaca, piawai menjulurkan sebuah magnet di etalase tulisannya. Segala itu tercipta bila bersua dengan ide/inspirasi. Lalu bagaimana kalau kekeringan ide?
Janganlah sengsara saat kerontang inspirasi dalam menulis, tapi muramlah bila tak miliki motivasi! Di situlah konflik batin seorang penulis -saat energi menulis tinggi, ide menulis tiris- di mana saja. Semuanya ada solusinya. Maka, ikutilah rekomendasiku dalam menemukan seperangkat ide dalam menulis. Kutiada takabbur, misteri menulis 'disunnatkan' untuk dipecahkan. Agar hidup ini berguna -kepada diri sendiri, kepada sesama- di dunia, dan juga 'kampung' akhirat nanti. Begitu banyaknya 'perkakas' yang kita miliki untuk berlatih menulis, bisa dibilang lebih dari memadai. Taruhlah internet, bermilyar referentor di sana, bisa menyuplai energi pikir untuk sebuah artikel. Tiada penting menjadi seorang penulis orisinil, karena menulis itu memanglah perkara tiru-meniru, tinggal teknik kitalah meracik tulisan sebagai pembeda (tetapi sama) antara satu penulis dengan lainnya.
Belum lagi percakapan keseharian (baik langsung maupun tak langsung) yang sangat potensial untuk disulap menjadi tulisan bermakna, berisi dan berdaya guna. Teorinya pun tetap sama bahwa kontribusi empiriklah yang bisa membuat seorang penulis menyulam tulisan-tulisan berikutnya. Ia aktif menelisik sisi-sisi lemah dalam teknik menulis, sebelumnya. Bukan sebaliknya, giat menyelami kelebihan-kelebihan tulisannya hingga terkondisikan rasa 'puas dini' bila enggan disebut eyakulasi dini. Ha ha ha
Dan rahasia itu kubeberkan di sini:
Baca referentor inspirasi
Sehubungan, menulis itu soal dorongan (jiwa), maka mesti hadir stimulator untuk jiwa demi menggaet ide untuk menulis. Jibunan artikel inspiratif di media, juga di rak-rak buku. Penulis sekelumit membaca sebuah kisah inspiratif di sebuah blog, kisah kakek tua vs anak muda bertenaga. Keduanya 'berlomba' memotong-motong kayu di hutan, hasilnya sama. Anak muda itu bertanya, apa rahasianya hingga si kakek bisa menyamai jumlah potongan kayu dengan anak muda itu, padahal dari sisi tenaga, jelas anak muda itu unggul. Kakek itu tersenyum dan memberi penjelasan ringan bahwa pekerjaan apapun butuh istirahat, istirahat juga pekerjaan. Istirahat adalah pekerjaan memulihkan tenaga, pikiran, dan emosi. Istirahat bisa mengatur langkah berikutnya, cara yang lebih efisien dan tepat target, tepat suasana, dan produktif.
[caption id="attachment_402290" align="aligncenter" width="300" caption="www.killadj.com"][/caption]
Anak muda itu malah bingung maksud sang kakek, diteruskanlah penerangan sang kakek, ia mengatakan dengan tegas bahwa anak muda itu bekerja dengan spartan, penuh emosi namun minim manajemen emosional. Ia dikendalikan emosinya, bukan dia yang kontrol emosinya.
Kisah ini teramat berguna buat penulis serupaku, bahkan dalam aktifitas lainnya seperti mengajar, membimbing, merawat kendaraan dan memerbaiki sepeda anak-anak plus kerjaan rumahan lainnya. Rupanya memanglah pekerjaan itu wajib dikredit (dicicil), punya siasat dan strategi. Menulispun begitu, mesti punya taktik dan skenario.
Awasi keadaan seputar
Segala interaksi di sekitar kita sesungguhnya inspirator artikel, seringan apapun itu dan itu sekumpulan ide, konsep, bibit tulisan. Pekerjaan kita 'tinggallah' bagaimana 'menabur-menyemai-menanam' bibit itu, menjadikannya sepohon tumbuhan. Jelasnya; ide sudah ketemu, tanggung bila ide itu tidak diteruskan. Toh, terlanjur punya intensi untuk menulis, mengapa dijeda-jeda, soal bagaimana-bagaimana jadinya itu tulisan, itu perkara berikutnya. Kita sudah terlanjur pula terjebak untuk menuliskannya, mengapa berusaha keluar dari jebakan positif itu!