Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

5 Kiat Menjadi Penonton Cerdas

4 Januari 2014   16:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:10 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_313869" align="alignleft" width="300" caption="masduacahaya.blogspot.com"][/caption]

DI TIAP perjalanan ke daerah atau ke provinsi lain, penulis rajin memirsa televisi. Stasion televisi lokal, tentang budaya, anak-anak, lingkungan. Penulis ketat dalam memilih channel, tayangan dan menu acara. Di Manokwari, ada stasiun televisi lokal, namanya Televisi Papua.

Televisi ini -meskipun lokalan- namun siar budaya, siar moral, siar santun dan seterusnya, amatlah menggizikan batin dan isi kepala. Perkara-perkara humornya juga oke, sekelas Epen Cupen. Cerdas leluconnya, natural bahasanya, tak canggih-canggih amat. Sulit nian penulis jumpai bahasa-bahasa norak bin urakan bin canda kebablasan. Seterusnya, penulis apresiatif sebab TV Papua kerap menonjolkan keberagaman dan multi etnis.

Sudah Tahu

Kala istriku, mengumpat acara-acara tak layak tayang alias 'kering morality', penulispun menimpali: "Yah, jangan ditonton toh ma". itu saran kuatku kepada istriku, pun anak-anakku. Pihak televisi, pun tiada pernah memaksa-maksa Anda untuk menontonnya. Lagian, stasiun televisi kita, semuanya telah komplit, mulai acara 'angel' sampai kelas 'satanic', semua tersaji. Televisi itu cerdas sekaligus idiot. Yang unik buat penulis, mengapa program-program idiot dan dehumanism, kok malah ditonton banyak orang?

Persaingan antar stasion televisi di Indonesia, wajarlah. Loh negara yang terbanyak stasion televisinya, yah Indonesia. dan televisi yang terbanyak mengadopsi 'acara luar', yah televisi Indonesia juga. Terlebih, sulit jumpai stasion televisi yang benar orisinil dalam bersiaran. Mereka memakai jalur: "Satu Berita Untuk Semua". Borongan siaran.

Karakter

Penulis pernah berkhayal rendah, sebaiknya stasion televisi dikendalikan oleh 'pusat', tak semau gue tayangkan acaranya demi rating-rating, heboh-hebohan dan pesta bully mem-bully. Dan satu-satunya televisi Indonesia yang memiliki karakter, hanyalah TVRI. Berkarakter tetapi minim pemirsa. Konon kabarnya, program TVRI gak HOT, masih memegang kokoh kultur-kultur Indonesia. Dan TVRI telah 'ditinggalkan' sejak lama. TVRI memang gak 'macem-macem'. Ketat dan diawasi dengan baik. Pembaca dan reporternya, sopan-sopan, dan manusiawi dalam berbusana. Apakah karena TVRI sebagai televisi 'resmi' ataukah memang itu sudah jadi standar penyiarannya?

Kiat

Tetanggaku marah-marah, ia bilang matikan saja itu televisi, acara apa begitu, tidak mendidik! Buat penulis, semua acara televisi mendidik, ada yang mendidik baik, ada yang mendidik jahat. Karena bipolarnya acara televisi (baik-Jahat), tugas kita memilah-milahnya, toh itu karena kita pun sudah pada dewasa. Jangan latah ikuta-ikutan dengan 'kebodohan' televisi kita. Menyikapi jibunan acara televisi, juga menuntut kita sebagai pemirsa untuk cerdas. Katakanlah: "Mari Menjadi Penonton Cerdas". Motto inilah sebagai filter atas rusaknya (kalau bisa disebut bobrok, red) dunia pertelevisian kita.

Bukankah, saat kita menonton yang baik-baik, pun kita akan baik-baik pula? Sebaliknya, bukankah kebanyakan menonton yang buruk-buruk, pun akan berdampak kepada memori kita (cerebellum), dan kognitif kita direspon, afeksi kita dirangsang, dan sisa menanti waktu untuk meniru ucapan-ucapan kasar bin animalistik yang ditayangkan oleh televisi yang tak berideologi.

Jangan habiskan energi untuk mengumpat 'songongnya' televisi kita, mereka berhak untuk melakukannya, sebab ini jaman kapitalisme, jaman kematerian.

Penulis mengajak kepada keluarga Indonesia, keluarga Kompasiana bahwa menonton televisi pun punya opsi, punya cara, punya teknik, punya modus, dan punya kiat. Lima kiat singkat dapat menjadi tuntunan untuk Anda:

Pertama: Anda wajib paham, apa misi dan visi sebuah acara. Anda punya otak untuk mencerna, pun punya nurani yang senantiasa aktif notifikasinya, ini acara baik atau buruk? Sederhana sebetulnya menyikap siaran-siaran televisi yang ada di rumah kita. Tidak rumit alias gampang. Hanya manusia 'gila' yang tak sanggup bedakan mana acara mendidik baik dan yang mana mendidik buruk. Jika acara televisi itu 'gila-gilaan'. mengapa kita ikut-ikutan menjadi penonton gila.

Kedua: Anda pun harus tahu, bahwa televisi juga referensi. Televisi adalah bak 'guru', dosen, motivator, pencerah. Kesemuanya dapat memberi manfaat, kenapa puyeng-puyeng? Pilih saja acara yang bermanfaat. Tak perlu menyerang siapa pemilik televisi itu. Toh menguras tenaga mencibir-cibir. Ini kiat untuk menjadikan televisi sebagai referentor. Ia hanyalah alat, bukan tujuan.

Ketiga: Telisik-telisik via internet, seperti apa acara itu sebelum Anda menontonnya. Penulis sudah lama lakukan itu, mencari tahu sebelum penulis 'terjatuh' juga dalm kubangan acara yang tak beretika. Ini membutuhkan konsistensi, niat yang lurus, bukan apa-apa, menonton acara yang buruk-buruk, bisa terperangkap dalam 'dosa ringan'. Penulis awam soal agama, soal amalan. Tetapi penulis meyakini, menonton yang baik-baik, dapat meraih point pahala.

Keempat: Andapun harus tahu, bahwa televisi kita sekarang, tak suka dengan acara serius. Televisi kita memang cerdas membaca segmen, acara yang tak serius, pun tak membutuhkan banyak dana operasional. Acara konyol sampai super konyol, pun dikreasi, hingga meraup pemirsa yang banyak, dan iklan laris-manis. Ini implementasi teori Adam Smith: "Ongkos minimalis, pendapatan maksimalis". Mereka sudah konyol, dan kita tiada perlu menyoraki kekonyolan pemilik/pendendali/tim kreatif televisi.

Kelima: Coba Anda amat-amati, ada memang stasion televisi rusak, rusak-serusaknya. Tiada peduli dampak kejahatan yang ditimbulkan akibat-akibat tayangannya. Penulis sarankan, delete saja stasiun televisi di layar monitor Anda, pilih menu dan hapuslah dia. Jangan sampai dia (stasiun itu) menghapus perilaku baik Anda, yang selama ini Anda tunjukkan di hadapan keluarga, di tempat kerja dan di masyarakat.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun