Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyikapi Gaya Komunikasi Mahasiswa Masa Kini

14 Februari 2014   16:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_322568" align="aligncenter" width="300" caption="paseban.com"][/caption]

JUDUL yang terbersit di atas, diilhami dari sebuah ucapan kekecewaan -seorang dosen- atas gaya komunikasi mahasiswa(i) baik SMS, BBM atau lainnya. Dalam sebuah rapat -yang tak diagendakan- sempat dicuatkan behavior mahasiswa(i) dalam berinteraksi lewat japri alias handphone. Hingga beberapa TS (Teman Sejawat) mengganti nomor telepon genggamnya: "Pusingka dengan SMSnya mahasiswa. Patua-tuai". Penulis sangat termemori ucapan yang kerontang edukatif itu. Sedang yang lainnya, bersahutan dan mengamini sikap dosen tersebut. Mengganti nope, memblokir sms, menolak telpon yang tak ter-booking dalam phone-book.

***

Penulispun kerap 'dihadiahi' kiriman pesan -kurang etis- di jalur pribadiku ini. Berbekal sebuah kesepakatan, berjumpa untuk sebuah proses konsultasi skripsi. Pukul 15.00, deal. Kompasianer Makassar ini, on time, tepat waktu. Jam 16.05 WITA. Penulis konfirmasi mahasiswaku, sebab 'beliau' belum datang-datang juga. "Katanya jam tiga mau datang konsultasi". Demikian SMS kulayangkan padanya.

Balasan darinya: "Saya di tempat foto copy pak. Apa bapak tak bisa sabaran?". Penulis ngakak ringan atas SMS ini, walau SMS ini bukanlah candaan, pun bukan material untuk kutertawakan. Perkara ini bisa jadi kecil atau besar, tergantung amat kepada 'isi kepala' dan muatan perasaan sang dosen, yang nota bene lebih tinggi derajatnya ketimbang mahasiswanya, hemmmm ada hieraskis di sana.

***

Malahpun ada SMS mahasiswa serupa ini, ditunjukkan oleh kawanku di monitor handphonenya: "Mestinya ibu hadir di ujian skripsiku. Ibu kan dosen profesional. Tapi ibu tega tak menghadiri sidang saya hanya gara-gara urus anak". Kasus-kasus gaya bahasa semacam ini, jika saja kita menggunakan paradigma lama, maka ini bisa tergolong SMS kurang etis (kalau tak mau disebut kurang ajar, red).

Buah dari SMS 'kurang santun itu' yakni tersinggungnya Sang Ibu Dosen, dan alergi dengan mahasiswa itu. Ibu dosen kita itu membalas SMS dengan 'nasehat berat' alias makian. Dan mahasiswa itu memohon ampunan maaf atas cara berkomunikasinya. Begitu penuturan TS saya. "Tapi jangan bilang kurang ajar, karena yang membuatnya kurang ajar siapa? Lha kita yang mengajar mereka kok, karena profesi kita pengajar", candaku pada kawanku itu.

Mahasiswa dinamis, dosen statis

Transformasi komunikasi melejit, produk teknologi berlari kencang, hingga teramat sulit mengendalikan -lagi- kita sedang berkomunikasi dengan siapa? Hingga interpretasi komunikasi itu. Pun bisa beraneka, variatif. Fakta terlentang bahwa gaya SMS dapat mewakili kepribadian seseorang. Itu sangat relatif. Sebab, berapa banyak tenggeran kalimat di medsos yang sejuta bijak walau penengger kata-kata bijak itu, aslinya tak bijak alias bejat. Artinya, aksioma repesentasi personal itu terlenyapkan alias terbantahkan.

***

Kembali ke perilaku komunikasi mahasiswa masa kini. Mereka itu dinamis dalam berkomunikasi, dosenlah yang statis. Masihlah terkungkung dengan old paradigm. Dosen lupa bahwa ini tamsilan dunia komunikasi, hierarkis itu kian terkikis, egaliter. Dan seluruh pengguna media sosial atau japri, telah satu level derajatnya di hadapan internet, di depan teknologi komunikasi.

Penulis mendudukkan dosen; menilai SMS mahasiswa itu kurang ajar adalah klasik, kuno, gak jaman lagi. Jika mahasiswa dinamis, dosen pun harus dinamislah. Bila saja dosen masih berkiblat kepada pola lama -tanpa gadget- maka menu tersinggung itu akan dilahap setiap pagi, siang dan malam. Dan kisah berlanjut, seorang mahasiswa menelpon tengah malam, bisa jadi mahasiwa itu sedang dalam masalah berat yang bertalian dengan akademiknya, atau tombol handphone-nya kepencet/ketindis tanpa sengaja. Segalanya bisa terjadi dan segalanya juga kita tak perlu geram sebab kita pendidik.

Penulis pun -dulu begitu- tak enjoy dengan SMS ala mahasiswa. Kumerasa sekali, saya dianggap teman sebayanya. Model komunikasinya kok serendah itu? Ini pasti imbasan dari gaya teman-teman mayoritasnya, dan teranjak-anjak. Ini efek environment. Tak perlu lagi sensitif, tersinggung, merasa direndahkan, apatah lagi merasa YANG TERSAKITI (Yudika kaleeeee).

Lalu, saya mengubahnya dengan teknik:

1) Saya berprasangka baik kepada mahasiswa

2) Saya ini pendidik bagi mereka

3) Saya ini senior dalam segala hal dibanding mereka, perilakuku juga harus 'senior'

4) Saya ini culture modifier of education untuk mereka, dan

5) Saya ini orangtua mereka

Dan kelewat banyak alasan untuk mendinamiskan interaksi dosen-mahasiswa, demi terjewantahkannya relasi humanis yang manis, dan tak direcoki beragam alasan untuk kehilangan romantisme itu di Campus Park. Ini pelajaran, ini pengajaran, ini belajar-mengajar; soal antropologi, sosiologis dan psikologik. Resapi motto orang Jepang: "Mengajar adalah belajar". Nukleus dari artikel ini, mengajak kepada TS se nusantara bahwa gejala sosial-budaya ini, wajib diterima, bukan ditolak sebagai kutukan telah hadirnya teknologi media. Ini jembatan pembelajaran terhadap gelombang budaya. Ini titian edukasi moderen. Tak perlu memilih opsi 'aneh-aneh' seperti membeli nomor baru, mem-block SMS atau automatic reject. Itu sangat tak efektif.

Berpuluh kalipun Anda mengganti nomor telpon, takkan menghentikan modus komunikasi mahasiswa. Ini sudah sabda alam. Natural law. Sunnatullah. Teknologi yang sunnatullah-nya di antara baik-buruknya, plus-minusnya dan lebih kurangnya.

Jika Anda setia dengan paradigma yang lalu-lalu itu, maka penulis berfirasat: Anda akan ditinggalkan zaman, pun mahasiswa akan tinggalkan Anda, sementara karier Anda berada di pundak mahasiswa. Geserlah pandangan lama itu, bersualah dengan tatanan baru. Budaya baru, perilaku baru. Jangan takut berubah sebab manusia pada esensinya adalah pro perubahan. Dan hanya ada 3 jenis manusia yang tak berubah: Orang mati, orang gila dan manusia bodoh. Ini bisa dikonvevsi menjadi: Dosen mati, dosen gila dan dosen bodoh. :lol:

Artikel ini untuk pengayaan penulis. Bilamana bermanfaat, ya syukur. Bila kurang berkenan, ya AKUR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun