Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Trauma Seksual? Ini Tawaran Solusinya

10 Maret 2015   08:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:54 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14259555341131101254

[caption id="attachment_401802" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi, Korban Pemerkosaan (Shutterstock)"][/caption]

FASE terumit dan tersulit bagi psikolog adalah terapi mental pada korban pemerkosaan. Trauma seksual yang plural melanda anak-anak -manusia polos dan lugu- dan perempuan dewasapun tiada luput dari 'basic instinct' tak terkelola dari seorang pemerkosa. Hawa nafsu seksuallah yang menjadi magma dominan atas penyelenggaraan proses pemerkosaan itu. Ia datang untuk buramkan hidup seorang perempuan. Sengsaralah sang korban, di hampir seluruh tapakan interaksi sosialnya. Penderitanya aktif sembunyikan diri, enggan bergaul dengan lawan jenisnya, sekalipun itu ayahnya, kakeknya, saudara laki-lakinya, pamannya ataukah sepupu laki-lakinya. Begitu kelam jejak-jejak yang disisakan oleh pemerkosa terhadap korbannya.

Asosiasi

Belum ada Badan Resmi (setahuku) sebesar penanganan narkoba (BNN) bagi korban pemerkosaan, juga belum didirikan asosiasi penderita korban pemerkosaan. Kenapa? Karena korban pemerkosaan itu unik, tak bisa digolongkan sebagai penyakit walau sakit hatinya sebagai korban pemerkosaan tiada tara, tiada ampun dan tiada banding. Bila diputuskan pacar, siapapun korbannya, waktu yang akan mengakhiri masa-masa sakit hati dan kelukaannya. Sedang korban pemerkosaan itu, nyaris saja di ambang kematian mental, kepasifan jiwa dan kerontang batin. Hampa dan hambar, terasa baginya.

Tak beruntungnya korban pemerkosaan sebab sulit lakukan rekayasa (rekonstruksi) akan bagaimana kejadian pemerkosaan itu. Tiada sama dengan kasus-kasus trauma seumpama trauma naik pesawat seperti yang pernah 'melibatkan' Dennis Bergkamp -pesepakbola legendaris Belanda dan Arsenal- di saat asyik menyerang ke lawan tanding, ia harus diskonsentrasi, memikirkan akan cuaca buruk dalam penerbangan pulang, usai bertanding itu. Walau sesungguhnya, soal di mana posisi kita saat kematian terjadi, itu mutlak berada pada manajemen Tuhan.

Tawaran solusi

Hentakan luar biasa dahsyat, perempuan dalam jeruji trauma seksual. Bukanlah akhir segalanya! Sekalipun rasa malu itu tertanggung-tanggung, taste minder pun terbawa-bawa. Itu alamiahnya korban trauma seksual. Aksi-aksi kekerasan seksual itu, tiada terlalu penting untuk rendahkan diri, sebab itu kecelakaan. Tiada terlalu beda dengan kecelakaan transportasi, seumpama tabrakan di daratan, di jalan raya. Lagi-lagi psikolog terhambat menjelaskan yang begini-begini. Korban trauma seksual tiada mudah menerapkannya apatah lagi mendengarkannya. Hebat pemerkosa itu, segala macam orang disibukkan untuk rehabltasi mental korban trauma seksual.

Bagi penderita, lekas-lekaslah bergabung dengan korban pelecehan seksual lainnya (baik pelecehan level ringan, midle maupun pelecehan seksual berat). Itu salah satu tawaran solusi. Karena ada persamaan nasib di sana, bahkan geliat untuk bangkit kembali akan terorbit pelan-pelan. Penderita akan berkata: "Faktanya, bukan saya seorang diri yang menjadi korban violensi seksual". Inilah yang disebut 'peer group', pengelompokan penderita dalam bahasa 'Rumah Sakit Jiwa'. Berikutnya, bencilah semua lelaki sebesar mungkin, semaksimal mungkin, hingga lahir anti-klimaks dan menganggap kejadian itu adalah hal umum, banyak perempuan tertatih-tatih dan sanggup 'hidup' kembali.

Trauma seksual itu, memanglah menjengkelkan, frekuensinya tak menentu, tak terdeteksi akurat kapan datangnya-kapan perginya. Seolah swith off, On Off-nya tak terencana. Selanjutnya, korban pemerkosaan itu adalah manusia normal, masih berpotensi berpikir jernih-bening-bersih. Lakukanlah meditasi, lumpuhkan ingatan-ingatan buruk pada kronologi pemerkosaan itu. Yakinilah bahwa korban pemerkosaan bukanlah soal memalukan sama sekali. Lah, bukan mau si korban.

Saat inginnya masuk kamar untuk menyendiri lagi, jangan pernah turutkan itu. Baliklah badan dan melangkahlah ke teras rumah. Bila di teras, masih dihantu-hantui akan pelecehan seksual, maka berdirilah. Ambillah sesuatu di sekitar, seumpama sapu, ayunkan sapu itu, dan menyapulah dengan bersungguh-sungguh. Tanyakan pada setiap kotoran/sampah yang tersapu; Dari mana sampah ini? Siapa yang membuangnya?  Kenapa dibuang? Sudah berapa lama sampah ini berada di sini? Inilah teknik pengalihan perhatian dalam terapi psikologi. Lakukan setiap sempat, dan di setiap tempat.

Sungguh jamak referentor di internet bahkan di buku-buku tentang teknik mengatasi trauma seksual, segalanya akan absurd bila trauma itu asyik dipikirkan oleh korban pelecehan seksual. Orang lain hanyalah supporoting, semisal keluarga. Justru korban pelecehan seksual itu yang mesti bertindak sebagai 'psikolog' untuk dirinya sendiri, sebagai 'farmakolog' dan sebagai 'dokter jiwa' untuk keselamatan fisiknya, dan jiwanya. Tak mudah memang menyembuhkannya tapi sangat mungkin untuk disembuhkan. Penyembuhannya bukanlah di bilik-bilik tertutup untuk lari dari lingkungan sekitar. Itu sungguh tiada manfaat, sedikit pun.

Targetlah waktu penyembuhan, misalnya setahun bisa sembuh atau malah lebih singkat dari itu. Password-nya, mengalihkan perhatian, lagi dan lagi, hingga perhatian ke area sadisnya pelecehan seksual, dikalahkan oleh deretan perhatian lain. Seterusnya, pengalihan perhatian itu menjadi kokoh, meraksasa dan tiada celah lagi untuk diruntuhkan akan kasus pemerkosaan, silam. Teknik lain adalah terapi penenang, walau itu hanyalah berhubungan dengan persarafan, bukan kejiwaan. 'Kesakitan' saraf hanyalah efek turbulensi jiwa, maka akar kesakitan itulah yang wajib di-treatment. Penyakit pemerkosaan adalah penyakit anti sosial, terapinya itu adalah sosialisasi, bergaul dan tak menutup diri untuk selama mungkin^^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun