Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ma, Apa Itu Hamil?

8 Januari 2014   12:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:01 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13892711771489929322

[caption id="attachment_314845" align="aligncenter" width="300" caption="www.theguardian.com"][/caption]

Ibuku, aku sungguh mengeluh. Aku anakmu, aku lahir, tiada yang melarangmu melahirkanku. Lahirku, kumenangis. Engkau malah tersenyum.

Aku bayi, tak bisa lakukan apa-apa. Lemah. Seluruhnya tergantung padamu. Kubelajar merangkak, berdiri, berjalan dan berlari. Dan mulai belajar bermain, belajar ucapakan kata: "Mama". Aku mulai ingin tahu siapa di sekelilingku. Ingin paham apa itu sapu, televisi, sepeda.

Aku pegang sapu, mama bilang: "Jangan, itu kotor". Tak ada penjelasanmu, kenapa kalau kotor, kenapa kalau bersih. Aku pegang remote televisi, mama merampasnya: "Jangan, nanti rusak". Aku kecewa, mama lebih memilih perasaanku terluka kecil daripada remote itu rusak.

Aku sudah pintar membaca ma. Aku pegang buku seks, mama larang aku: "Jangan, buku itu tidak bagus untuk anak-anak". Aku bingung ma, kenapa tidak bagus untuk anak-anak? Mama enggan menjelaskannya.

Aku pulang telat, ibu bilang tak baik begitu. Lagi-lagi tiada penjelasan. Ibu kecut, tak tersenyum seperti saat mama melahirkanku. Aku anakmu ma. Tak bolehkah aku tahu segala sesuatu darimu ma?

Aku jatuh hati pada seseorang, mama bilang: "Boleh jatuh cinta tapi jangan pacaran". Kenapa ma? Mama tak jelaskan kenapa tak boleh pacaran. Mama hanya bilang, nanti kamu rusak. Kenapa bisa rusak ma? Lagi-lagi mama tak menjelaskannya dengan baik, hanya sinis padaku.

Aku mau jadi arsitektur, mama bilang: "Pilih dokter, biar enak hidupmu". Mama ini diskriminatif, memangnya hidup arsitektur gak ada enaknya? Mama tidak menjawab pertanyaannku.

Aku jalan bareng dengan teman lelakiku, sepanjang perjalanan, mama telepon terus. "Kamu di mana? Jam berapa pulang?". Setelah aku tiba di rumah, aku tanya kenapa mama cemaskan aku? Jawabmu begini: "Nanti kamu akan rasa setelah kamu jadi ibu". Hanya itu kalimatmu.

Banyak larangan kutemukan di rumah ini ma, mama melahirkanku setengah hati, tak mau mendidikku dengan baik dan benar. Aku terima larangan-larangan itu ma, tapi jelaskanlah ma.

"Mama tak bisa jelaskan Nak, seperti mama tak bisa menjelaskan kenapa engkau dilahirkan", katamu.

"Semua tak bisa dijelaskan, akupun takkan menjelaskan jika terjadi apa-apa pada diriku ma"

"Entahlah Anakku. Pastinya, mama sayang kamu, pengen liat kamu baik-baik saja"

"Gimana caranya aku baik-baik sedang mama tak tunjukkan bagaimana jadi anak yang baik-baik. Aku kecewa dilahirkan ma. Andai bisa kuberkata, aku akan bilang ke mama, jangan lahirkan aku"

"Loh kok gitu Nak!"

"Karena mama hanya sanggup lahirkan aku, tapi mama membiarkanku hidup tanpa penjelasan dan kejelasan. Mama sama saja dengan ibu-ibu yang lain. Banyak kata-kata jangan, tapi malas mendidik. Aku sedih ma, guruku yang bukan ibuku, tiap hari bisa menjelaskan pelajaran dengan baik. Sedang engkau ibu kandungku, tak pernah mau menguraikan apa-apa padaku. Tentang pergaulan bebas, tentang seks, tentang kondom, tentang kehamilan, aborsi. Apakah aku harus melakukan semuanya, barulah aku tahu ma? Mama selalu bilang, itu tabu dibicarakan, malu. Oh mama pilih malu-malu daripada aku jadi anak yang akan memalukan mama karena ketidaktahuanku?"

----------

Catatan:

Cermin ini terinspirasi dari dialog penulis dengan seorang ibu yang mencemaskan anak gadisnya. Pesan dalam cermin ini, jadilah ibu biologis, ibu psikologis, ibu sosial, dan ibu seksologi untuk putra-putri kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun