Berikut ini, wujud secuil peduli dari seorang Kompasianer asal Makassar-Sulawesi Selatan. Kutak ingin lagi media ini digelari sebagai The Jungle yang mengerikan-menakutkan-violentif. Siasatku rindukan pergeseran makna dari Hutan Belantara menjadi Hutan Lindung yang di dalamnya terjumpai orang-orang yang saling melindungi, saling mengasihi dan saling memartabatkan.
www.kompasiana.com
Penulis ini menawarkan kata "Barangkali" dengan pertimbangan bahwa kebarangkalian ini bisa disetujui atau tak disetujui oleh pembaca secara umum dan sahabat-sahabat Kompasiana secara istimewa:
Barangkali kita tiada perlu berbantah-bantahan di Kompasiana, sebab berbantah-bantahan plus cela-mencela merupakan 'zat adiktif' yang justru akan melunglaikan kekuatan batiniah kita dan meruntuh-tumbangkan menara kesabaran yang telah kita latihkan selama ini. Sebab lain, berbantah-bantahan itu identik dengan mengeraskan suara, menunjuk-nunjuk sesama, mengovalkan kornea mata, dan memasang dada sekokoh-kokohnya. Saran mungil ini terinspirasi dari sebuah kisah inspiratif, seorang anak remaja yang pantang julurkan telunjuknya kepada orang-orang yang membuatnya berang dan tak direspekinya. Semisal anak itu usai dihardik, sekalipun orang yang menghardiknya masih terlihat oleh anak itu, anak itu hanya mengemukakan ciri-ciri orang itu (baju biru, pakai kopiah, celana hitam, dan seterusnya).
Alasan anak itu sederhana saja (sama dengan filosofi kita selama ini) bahwa ketika kita tunjuk-tunjuk 'orang jahat', maka satu telunjuk mengarah kepada orang itu, sedang empat jari lainnya menghadap ke tubuh kita. Sebaliknya, anak itu paling rajin menunjuk 'orang-orang baik' (menurutnya). Ungkapan-ungkapanku tentang anak remaja ini, pun terinspirasi dari pesepakbola mentereng asal Brasil, namanya Ricardo Izecson dos Santos Leite yang setiap usai mencetak goal, telunjuknya diarahkan ke langit. Kaka ganteng itu, melakukannya atas kebaikan Tuhan padanya, empat jari lainnya jelas terkoneksi ke tubuh Kaka, ia berharap agar dianugrahi sifat-sifat lebih baik, lebih wise, lebih relijius dan 'teologik'.
***
Barangkali kita tiada perlu menjerumuskan diri terlalu dalam -untuk memersoalkan tulisan sahabat-sahabat-sebab artikel sehabat itu mengandung kebenaran, bisa jadi artikel kita justru tersasak kesalahan, atau sebaliknya. Segalanya berbungkus ke-relatif-an. Perkara beginian telah lama sekali tertaut kuat di khazanah kedalaman ilmu seorang sufi, Imam Syafi’i: “Pendapatku benar tetapi bisa jadi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat orang lain salah tetapi bisa jadi memiliki kebenaran”. Sungguhlah, penulis ini tiada upaya sekuat-kuatnya untuk mem-follow rekomenadasiku ini. Hanya saja, memandang-mandang ragam kejadian, teknik bersabar-sabaran (baca: bukan pendiam) ini aduhai berguna buatku. Maka anti-altruislah saya bila tiada menyampaikan ke sesama penulis dan penggiat sosial media sekaliber Kompasiana ini.
***
Barangkali saat kita menulis, kita niatkan untuk berinfaq lewat tulisan, infaq ini memanglah bukan materi, 'cumalah' bagi-bagi sedekah via artikel, reportase dan fiksi, yang bisa dikais-kais pembaca. Dus, menambahi cakrawala pengetahuan pembaca, hingga pengetahuannya itu menjadi media untuk menjembatani rejeki, semisal diundang sebagai pemateri dalam suatu seminar yang diganjar honorarium oleh si empunya gawe. Makna lainnya, kita turut memerkaya orang lain dengan cara-cara yang wajar dan halalan tayiban. Bisa saja honor itu amatlah bermanfaat baginya untuk melunasi biaya semesteran putra-putrinya, ataukah untuk menyenangkan anak-anaknya dengan membelikan semangkok dua mangkok bakso dan mie pangsit beserta kecap-kecapnya. Saat membeli bakso, sesungguhnya kita juga sedang membeli kecap, lombok dan jeruknya. Ha ha ha
***
Barangkali tak perlu kita tanggapi 'genting' dan input di qalbu atas maki-makian di Kompasiana sebab historik makian itu telah seumur peradaban manusia. Sebab, kita cukup mengenal bahwa makian dan sespesiesnya adalah turunan dari gejala emosi dan kemarahan. Dan, sampai detik ini, penulis setia mendengar akan penyesalan orang yang pernah marah-marah. Ucapan populer yang kerap penulis simak: "Saya menyesal karena emosi waktu itu". Belum pernah juga terdenting di telingaku ada kalimat aneh seperti ini: "Akh, saya bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena saya marah-marah saat itu". Hi hi hi
***
Barangkali situasi, kondisi, toleransi, jangkauan, pandangan dan jangkauan-yang akrab diakronimkan: Si Kon*** ******* hehehe- Kompasianer akan tantangan futuristik, sesama penulis atas nama apapun, kita harus siap hadapi tantangan itu, untuk ditaklukkan tetapi bukan mengalahkan penulis lain, melainkan mengkanvaskan ego-ego kita, membredel ke-diri-an dan ke-sendiri-an. Kita ber-duel dengan tubuh-jiwa kita sendiri, sebab penantang terhebat di jagad ini adalah diri sendiri. Kenyataan inilah yang pernah menyatroni Mike Tyson, otot sekuat itu, leher se-beton itu, toh tepi-tepinya ia takluk oleh upper cut emosinya sendiri hingga ia 'memakan' daun telinga Evander Holyfield. Itulah kekalahan sejati dari seorang manusia kuat yang pernah berjuluk Juara Sejati.
Peristiwa dan drama itu, bukan secara kebetulan Tuhan menghadirkannya kecuali untuk dihikmahi, maka beruntunglah orang-orang yang disiplin memaknai akan segala perihal yang pernah berlangsung, di masa silam, sekalipun.
***
Barangkali, artikel ini cukup gampang dikoarkan, namun begitu sulit jewantahkannya. Tapi -kata orang- tiada salahnya mencoba, gagal menjadilah pengalaman. Begitulah aksioma Thomas Alva Edison sobat, seorang murid yang ditolak guru, karena dianggap telmi, sampah. Dan keingin-tahuannya akan segala hal menyebabkannya tersulap sebagai ilmuwan tersohor dan membuat orang-orang tercenung massal, tercengang dan takjub. Edison sang penemu lampu listrik, gilang-gemilang mencahayai dunia. Barangkali kita pun sebagai penulis sekaligus Kompasianer, suatu kala, sanggup menyinari dunia dengan pijar-pijar artikel kita. Entahlah!^^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H