Harian FAJAR, Makassar pernah menayangkan rubrik: "Hati Yang Luka". Saya hobi membacanya. Di sana terkisahkan pilunya perceraian. 1001 problematika bahtera rumah tangga retak biduknya. Dan saat memplototi data termutakhir di Pengadilan Agama Makassar siang tadi (25/10/2012). Saya sedikit kaget ketika memandangi data perkara tahun 2012 dimana GUGAT CERAI (Istri gugat suami) dua kali lipat dibanding GUGAT TALAK (suami gugat istri)
* * *
Bagi Kompasianer yang belum mengerti apa perbedaan Gugat Cerai dengan Gugat Talak, maka saya tambahkan wawasan Anda. Gugat Cerai adalah istri yang mengajukan gugatan cerai kepada suami secara tertulis kepada suami, sedangkan Gugat Talaq ialah suami yang mengajukan talak secara tertulis kepada sang istri.
Data tersebut di atas saya ambil langsung di Pengadilan Agama, Makassar dan saya komparasikan secara sederhana antara angka gugat cerai dengan gugat talak, faktanya adalah istri melakukan gugatan cerai dua kali lipat dibanding gugat talak. Di bawah ini adalah data aslinya yang terpampang di dinding 'papan bicara' Pengadilan Agama, Makassar.
[caption id="attachment_220066" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Data primer diolah dengan sangat sederhana (Armand Doc)"][/caption]
Fenomena Usia Produktif
Saya penasaran menyaksikan aktifitas perceraiaan ini, mayoritas berusia muda, istri yang nyentrik. Jangan katakan bahwa saya menuding sang wanita sebagai penyebab kehancuran dan kegaduhan rumah tangga mereka. Saya hanya penasaran, mengapa usia-usia muda ini berseliweran di area pengadilan agama?. Perlakuan apakah yang telah diterima dari suami mereka hingga mereka 'tak tahan' lagi dan menggugat sang suami untuk bercerai.
[caption id="attachment_220067" align="aligncenter" width="300" caption="Ini data primer/autentiknya"]
Salah Kaprah
Awamnya masyarakat kita terhadap referensi pengadilan dalam perkara perceraian, banyak anggapan yang menyatakan bahwa ketika mereka melaporkan secara tertulis akan gugatan perceraian, maka bayangan mereka adalah gugatan tersebut segera terpenuhi. Majelis Hakim sungguh memiliki tanggungjawab dan beban moral yang sangat luar biasa hingga mereka sangat hati-hati dalam memutus perkara perceraian.
Mereka mengutamakan proses perdamaian dan menjadi mediator yang bijaksana hingga sidang demi sidang sering ditunda dengan maksud bahwa kedua pasangan suami istri memimikirkan kembali nasib rumah-tangganya dan anak-anaknya.