Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ahok, Teriakan dan Psikologi Anak

8 Maret 2015   16:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_401512" align="aligncenter" width="624" caption="Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas untuk bersilaturahim sekaligus menyampaikan sosialisasi program kerja Kantor Harian Kompas di Palmerah, Jakarta, Jumat (10/5/2013)/Kompasiana(kompas.com"][/caption]

TERBEBAS dari benar-salahnya Ahok, teriakan-teriakannya kurang terpuji untuk dicontohi anak-anak. Ahok dan seperangkat wakil rakyat bisa dibilang deuce.-seri-12-13. Suasana panas-panasan ini, tak kondusif untuk dunia pendidikan kita, terlebih terhadap proyek Presiden Joko 'Revolusi Mental' Widodo. Ahok 'membanggakan' oleh sebab ia sangat berani, no fear, melawan Lulung.

Baik Lulung, maupun Ahok tak jua jadi model pendidikan karakter bagi anak-anak Indonesia. Bila saja Ahok berteriak di depanku dengan suara cukup tinggi, maka sayapun akan berteriak kepadanya dengan vokal maksimal. Ini tips menipiskan nyali Ahok. Jangan pernah layani teriakannya dengan volume suara yang seimbang. Prinsipnya hanya ada dua, meninggikan suara dengan oktaf setinggi-tingginya atau lemah lembut kepadanya, Ahok takluk pada teknik kedua-duanya. Itu sabda psikologi, ilmu gejala kejiwaan. Lalu, Ahok berkarakter (temperamental) sekeras itu (baca: tak kasar) toh banyak yang suka, maknanya adalah teriakan (perlawanan, red) itu representasi sekauman orang di Jakarta dan juga Indonesia.

Penulis tak mengenal sosok Ahok 'di balik' semuanya, termasuk kontribusi ayah-ibunya, sekolahnya, saat remajanya, lingkungan seputarnya. Penulis meyakini, Ahok tak serta-merta berwujud sangar, heroik, menakutkan. Sumbangan-sumbangan lingkungan akan pembentukan karakternya, tiada dapat dipandang remeh.

Teriakan

Teriakan (scream) penanda sebuah emosi yang sedang aktif, hingga praktisi psikologi menyebutnya bahwa teriakan itu ekspresi kemarahan, kekesalan, kekecewaan, kesusahan hati, putus asa dan stagnannya saluran kejiwaan. Gambaran lain menyebut bahwa teriakan itu refleksi dari sebuah ketakutan sekaligus menguatkan unsur jasmani, itu menjadi alasan mengapa seni bela diri akrab dengan suara berteriak seumpama karate, kung fu atau taekwondo dan lain-lain.

Dekade tertentu, riset efek teriakan itu telah diteliti dalam psikologi. Anak yang menerima teriakan, terekam di cerebellum-nya (recorder terhebat yang dimiliki manusia), cenderung mengembalikan teriakan itu baik dalam bentuk serangan balik maupun gerakan sunyi. Betapa sulit menemui anak yang doyan berteriak tanpa diajari berteriak di usia dininya, pra-remajanya ataukah di usia emasnya. Asupan teriakan yang diterimanya akan berkembang dengan otomatis, natural tanpa rekayasa perilaku (baca: perilaku buatan).

Riset termutakhir dari R.Chil menunjukkan hal yang menakjubkan bahwa telinga anak-anak akan mengambil posisi mode tertutup saat mereka diteriaki ayahnya ataukah ibunya. Mereka jadi 'tuli' akan teriakan, sebaliknya mereka akan tidak tuli (mendengar) saat dilembuti, distimulasi suara pelan, halus dan edukatif. Lantas, apakah semua teriakan buruk? Negatif? Oh tidak, teriakan itu salah satu cermin verbal, akan dikuatkan atau dilemahkan oleh gerakan non-verbal.

[caption id="attachment_401505" align="aligncenter" width="300" caption="transbogor.co"]

1425806387206254225
1425806387206254225
[/caption]

Teriakan pada laga olahraga semisal sepakbola adalah raungan positif, teriakan akan kebakaran juga positif, bahkan teriakan agar jangan berkelahi pun positif. Klasifikasi teriakan sudah lama juga dikelompok-kelompokkan dalam dunia Psikologi Umum termasuk psikologi tumbuh-kembang anak-anak. Esensinya dunia anak adalah dunia tiruan, dunia adopsi, dan dunia mengangkat-angkat perilaku sekitarnya, termasuk perilaku ayah-ibu, ketua kelas, kepala sekolah, ketua RT/RW, lurah, camat, bupati, gubernur, anggota dewan, partai, dan presiden.

Selanjutnya, cermin perilaku pemimpin (bila enggan disebut penguasa) turut menghambat pendidikan mentalitas anak-anak, baik di zona pendidikan non-formal maupun di area pendidikan formal. Penulis tiada maksud (hati) menyetop perilaku 'barbarism' di negeri ini. Penulis melihatnya sebuah gejala sosiologi, antropologi dan fenomena psikologi, di sini. Dampak behavior pejabat-pejabat teras, tak ubahnya berperilaku bak orang yang tak terdidik, tak terpelajar dan disaksikan berjuta anak Indonesia. Dan itu, cukup memiriskan sobat!

Tepatlah syair lawas Dorothy Law Nolte:

Jika anak dibesarkan dengan Celaan, maka ia belajar Memaki.

Jika anak dibesarkan dengan Permusuhan, maka ia belajar Berkelahi.

Jika anak dibesarkan dengan Ketakutan, maka ia belajar Gelisah.

Jika anak dibesarkan dengan Rasa Iba, maka ia belajar Menyesali Diri.

Jika anak dibesarkan dengan Olok-Olok, maka ia belajar Rendah Diri.

Jika anak dibesarkan dengan Iri Hati, maka ia belajar Kedengkian.

Jika anak dibesarkan dengan Dorongan, maka ia belajar Percaya Diri.

Jika anak dibesarkan dengan Toleransi, maka ia belajar Menahan Diri.

Jika anak dibesarkan dengan Pujian, maka ia belajar Menghargai.

Jika anak dibesarkan dengan Penerimaan, maka ia belajar Mencintai.

Jika anak dibesarkan dengan Dukungan, maka ia belajar Menyenangi Diri.

Jika anak dibesarkan dengan Pengakuan, maka ia belajar Mengenali Tujuan.

Jika anak dibesarkan dengan Berbagi, maka ia belajar Kedermawanan.

Jika anak dibesarkan dengan Rasa Kejujuran dan Keterbukaan, maka ia belajar Kebenaran dan Keadilan.

Jika anak dibesarkan dengan Rasa Aman, maka ia belajar Menaruh Kepercayaan.

Jika anak dibesarkan dengan Persahabatan, maka ia belajar Menemukan Cinta dalam Hidup.

Jika anak dibesarkan dengan Ketentraman, maka ia belajar Berdamai dengan Pikiran.

Bila anak-anak Anda bertanya di rumah, mengapa orang-orang berpangkat suka berkelahi? Katakan dengan lembut padanya bahwa itu hanyalah sandiiwara, mereka itu temenen, sahabatan bukan musuhan. Artinya, yang kerap bersandiwara itu adalah anak-anak, berteman dan suka berantem-berantem kecil, setelah itu temanan lagi dan saling mencari. Penulis tak menyatakan bahwa penguasa di negeri ini, kelakuannya mirip dengan anak-anak. Sebab yang berhak katakan itu hanyalah Gus Dur seorang diri, bukan saya ataupun Anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun