BERITA teranyar di tanah air dan salah satu jenis artikel tersubur di Kompasiana adalah perkara paedofilia (Yunani: paidophilia). Ahli-ahli kesehatan masyarakat, pakar-pakar kedokteran jiwa dan jawara-jawara psikologi begitu sulit membuat defenisi absolut atas gejala penyakit ini. Sekalipun, beberapa referensi mengabarkan bahwa gejala kelainan seksual ini, sudah teraba sejak tahun 1980-an. Hakikatnya, 30 tahun lebih, gejala penyakit kejiwaan ini belum juga teratasi oleh treatment medis, psikiatri, keperawatan dini, dan terapi psikolog. Yang terkaji hanyalah jumputan motif pelaku dalam melunasi hasrat seksualnya. Dan mengapa klasifikasi korban adalah anak-anak di bawah umur?
Tiada yang bisa memutlakkan penyebab penderita paedofilia ini, dan riset soal kelainan insting seksual yang mematikan ini tetap berlanjut sampai kini. Terbesitlah suatu asumsi berdasarkan riset bahwa penyakit ini berhubungan langsung dengan psikologi kepribadian, psikologi perkembangan dan psikologi sosial (Baca: penulis rangkum dari buku psikologi lawas karya Usman Effendi dan Abu Ahmadi: "Psikologi Umum", terbitan PT.Rineka Cipta, 1995).
***
Di waktu senggang, kawanmu ini, pengajar Psikologi Kesehatan dan rekan se-tim matakuliah, mendiskusikan soal predator seksual ini. Kami sepakat bahwa baik pelaku maupun penerima perlakuan paedofilia, keduanya adalah korban, keduanya adalah penderita. Seterusnya, apa yang terjadi di JIS (Jakarta International School) itu, cumalah fenomena minim atas banyaknya perilaku paedofilia yang belum terungkap. Lantas, kita serta merta memojokkan Sang Pelaku, dan turut berduka atas korban. Padahal lagi, setiap individu memiliki faktor risiko akan penyakit ini, nyaris semua orang bisa terjangkit. Dalam bahasa populer epidemiologi perilaku, penyakit ini dipastikan Penyakit Degeneratif. Tidak akan menular, tapi tetap akan berlangsung dan bisa saja di antara keluarga kita, bisa terpapar atau terjangkit.
Ini sebetulnya tugas negara, tugas pemerintah, c.q.kementerian kesehatan, sebab sudah sejak lama diundang-undangkan secara implisit bahwa pemerintah melakukan pencegahan penyakit dengan menyelenggarakan: 1. Karantina. 2. Pengebalan. 3. Hygiene lingkungan. Ini sabda UU Kesehatan yang sudah lawas, yakni tahun 1992. Dan faedofilia itu sesungguhnya dapat dikarantina sesuai hasil diagnosa patologi psikologis agar diupayakan penyembuhannya atau setidaknya tak melakukan aktifitas seksual yang berbahaya bagi anak-anak (Yunani: pais) dan juga untuk alat kelamin pelaku. Belum  lagi jika dihubung-hubungkan dengan Infeksi Menular Seksual (IMS), lainnya.
[caption id="attachment_333444" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi: kompas.com"][/caption]
Dugaan
Beberapa text-book tak menunjukkan langsung penyebab penyakit faedofilia, nampak di sana berindikasi bahwa eksploitasi anak-anak di bawah umur. Rasionalisasinya, anak-anak mudah 'dibodoh-bodohi' dan gampang diumpan-umpan dengan material kesukaannya. Perlakuan seksual senonoh itu, diselenggarakan sesuai khayal-khayalan Sang Pelaku. Di psikologi umum, ada satu subyek pelajaran disebut GEJALA KEMAUAN, syahwat salah satu bahasan subtansi dalam materi ini. Dan dengan 'kasanya' Sigmund Freud (lokomotif psikoanalitik, red) dicandakan oleh sebagian orang atas temuan Freud dengan berkata: "Hanya ada dua kebutuhan manusia: Kebutuhan perut dan kebutuhan bawah perut".
***
Manipulasi perlakuan kepada anak-anak di bawah umur adalah implementasi dari daya khayal Sang Pelaku dan khayalan itu dikonversi dalam bahasa ilmiah disebut FANTASY. Adakah perbedaan antara manusia normal dengan manusia abnormal seperti penderita faedifilia dalam melakukan aktifitas seksual? Rerata tiada beda, hanya saja penderita faedofilia lebih ekstrim, sebab tujuan akhirnya adalah pelampiasan emosi seksual, bukan semata kenikmatan seksual, tetapi sasaran lainnya bagaimana membuat anak-anak itu 'menderita' dengan berbagai permintaannya. Katakanlah ini double impact: puas secara seksual dan puas secara buasnya aspek psikologik sang penderita faedofilia. Dan salah satu alasan ilmiah mengapa anak-anak dilarang keras mengakses konten pornografi dan pornoaksi sebab daya khayal anak-anak lebih kuat dibanding orang dewasa, dan daya kendali anak-anak akan khayalannya tak sekuat orang dewasa.
Entah ini kebetulan atau memang aktualnya demikian, bahwa mayoritas pelaku faedofilia adalah individu-individu minim interaksi, ia hanya 'bergaul' dengan nikmat-nikmat fantasinya, dan terdorong (motif) untuk menyalurkan aspirasi khayalan 'ngaco' itu. Kenapa ngaco? Sebab tiap inci pada tubuh anak adalah segmen seksualnya, sasaran nafsunya, mulai dari lubang telinga, sampai-sampai lubang-lubang lainnya, menjadi area 'jajahannya'. Artinya, pelaku benar-benar melakukan manipulasi atas kehendak nafsunya.
Barangkalai lebih bijaklah kita, jika kita belajar dari semua ini, bahwa setiap penyakit atau gangguan jiwa ada penyebabnya, dan sebagai Kompasianer, sebagai ayah-ibu, kakak atau paman dan tante, menyampaikan hal-hal ini kepada keluarga. Tentang bagaimana cara berinterkasi, tips bergaul, dan teknik positif dalam pergaulan. Sebab, ini jelas-jelas dijabarkan dalam Psikologi Perkembangan bahwa setiap umur memiliki ciri tertentu dalam berperilaku.
Psikologi klasik terang-benderang mengujarkan bahwa idealnya antara usia sejak lahir (Calendar Age) seiring dengan usia mental (Mental Age). Tak bermaksud menggurui, tetapi disayangkan jika kedua usia ini saling meninggalkan hingga banyak ditemukan orangtua kekanak-kanakan dan anak-anak kedewasa-dewasaan (cabe-cabean, terong-terongan, red). Keduanya tak normal dalam hitungan psikologi perkembangan.
Artikel ini belumlah universal dan mendalam, namun dua faktor yang diduga menjadi penyebab terjangkitnya gangguan jiwa bernama faedofilia, yakni environment factor dan heredity. Pastinya, faedofilia ini adalah penyimpangan perilaku, mengawasi tumbuh-kembang psikologik putra-putri kita adalah suatu kelalaian jika kita hanya melahirkannya secara biologis, sebab sesungguhnya mereka adalah anak-anak psikologik kita, pun anak sosiologik kita. So, ajari bergaul dengan wajar. Dan, saya meyakini, Anda lebih hafal akan karakter anak-anak Anda dibanding psikolog dari manapun dan sehebat apapun. Lakukan sebelum terlambat. Wallahu alam bis sawab^^^.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H