Orang ini sangat berbahaya. bisa melukai Anda setiap saat. Penting kutuliskan ini, sebab tak sedikit kawan-kawan terjebak oleh tingkah verbal penderita sosiopat di medsos. Anda akan sakit hati atas caciannya, orang ini sangat kasar. Maka jangan pernah -pikirkan- untuk melayaninya. Leave them!
Kenali ciri-cirinya dengan cermat, orang yang terindikasi sosiopat, suka berkata sadis, membabi buta, tak kenal kawan atau lawan. Reaksinya spontan, hingga para psikolog menggolongkannya sebagai manusia yang ANTI SOSIAL. Ya, anti sosial di MEDIA SOSIAL. Amatlah menyalahi unsur-unsur humanistik (kemanusiaan) di mana medsos itu bertujuan untuk berinteraksi dengan baik, bijak dan saling memanusiakan.
***
Masihlah terngiang, kericuhan Kompasianer di Facebook, dua hari lalu. Tanpa tedeng aling-aling, mereka aumkan hardik-makian, lolongan suara tak halus, mengaing, terjangan artikulasi amatlah menusuk sukma, membreidel perasaan anak-anak manusia. Melukakan!
Nama baik Kompasiana, ternista di sana. Lalu, penulis terdestinasi akan sebuah kalimat ini: "Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis".
Selanjutnya, penulis tumbuh-kembangkan kalimat itu menjadi beberapa  ranting pendewasaan bahwa ungkapan faktual itu, perlu diperluas oleh Kompasianer; merawat perilaku, menguatkan kebersamaan dalam kebaikan, saling menstimulasi interaksi positif dan saling meninggikan spirit untuk mengelokkan moralitas.
***
Ada sayatan di sana, ada luka yang berjejak, terekam dan berpotensi merusak otak. Bukankah sebuah riset telah membuktikan bahwa saat orang dimaki, maka otaknya tak beraturan? Amatilah Sang Bayi, ketika ia menyusui, ulkus-ulkus otaknya rapi, enak dipandang. Memuliakan! Lalu, sekali saja engkau maki anakmu, percayalah padaku, otaknya akan menggelembung seolah akan meledak, ulkus-ulkusnya terputus-putus (saya akan ulangi kalimat ini di paragraf selanjutnya, red). Lantas, apa yang engkau harapkan dari otak seorang anak -engkau pasti sayangi- yang terputus-putus? Berharap ia pintar? Oh kejauhan.
***
Tunggu dulu kawan, tak mudah menuding seseorang sebagai penderita sosiopat. Butuh pengamatan yang lama (minimal 1 tahun, red). Lalu, apakah artikel ini telah mendiagnosa seseorang dan vonisnya adalah Penderita Sosiopat? Tentu tidak!
"Setiap individu berpotensi sosiopat", demikian menurut Kompasianer Makassar ini
Faktor Risiko
Dalam sudut pandang Psikologi Kesehatan, selalu ditarik ke dalam ranah faktor risiko. Bahwa tingkah laku sekarang ini adalah buah dari masa lalu. Keterpurukan masa silam sangat memungkinkan terendap, kemudian semua sudah terbuka dalam wujud 'balas dendam' atas keparahan jiwa pada masa yang terlewati, terutama sejak anak-anak. Tahukah Anda bahwa otak anak akan menggelembung dan seolah akan hancur ketika ia dimarahi, dipukul atau dimaki? Alam bawah sadar menyimpan rekaman itu, hingga jadi bom waktu. Suatu saat, akan meledak. jua.
Lalu adakah terapi penyembuhannya? Ia, selalu ada terapi bagi setiap penyakit baik jasmani maupun rohani. Karena yang terganggu di area rohani, maka terapi (salah satunya) melalui terapi psikologi.
Kontra Sosial
Sesering apakah Anda membaca komentar-komentar yang vulgar di medsos? Kata TAIK, ANJING, BABI, dan sederet penghewanan lainnya, itu sudah jelas-jelas tak manusiawi. Tiada koneksi sosial di sini, tiada jaringan kemanusian dan tiada pula signal kebaikan. Yang ada hanyalah pontang-pantingnya penderita sosiopat untuk memuaskan dirinya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Aksara keji itu bila diucapkan sangat jarang, maka itu adalah kemarahan yang tak terbendung, tak terblok, dan bukan sosiopat. Namun, peneliti-peneliti sosiopat memasukkannya sebagai pra-sosiopat, conditioning variable. Betapa jelas sebetulnya alur dasar dari pra sosiopat menuju sosiopat. Reaksi-reaksi spontannya itu, teramat mudah terbaca, misalnya: memukul, mengumpat, mengancam, walau tak ada alasan pasti. Dan perilaku verbal/non verbal itu berulang-ulang, reguler, rutin. Penderitanya tegaan, tak peduli orang lain rusak, pantang minta maaf, sebab bawaannya telah begitu rupa dan dianggap dirinya adalah normal. Dan inilah kajian menarik dalam lieteratur Psikologi Abnormal. Ajaran ini amat memukau, walaupun terkadang salah kaprah. Misalnya, kegemaran manusia berperang, membunuh secara massal akan etnik tertentu. Itu bukan sosiopat karena sosiopat tidak membedah perilaku komunitas, kelompok atau bangsa. Sosiopat sifatnya individual.
Penderita sosiopat sebetulnya ada kemiripan dengan tingkah laku hewan, punya otak tapi tak berfungsi, punya akal tapi tak digunakan. Itulah hewan. Sebab kita juga adalah hewan, tetapi kita 'hewan yang berakal'.
Maka Janganlah!
Bila istrimu atau suamimu, ataukah kolegamu, atasanmu sedang sakit. Akibat tak tertahankan sakitnya hingga ia mengumpatmu. maka janganlah sakit hatimu. Sebab ia dalam keadaan sakit, fungsi sosialnya hilang untuk sementara. Kuyakini segala ini, butuh kebijakan dari pengguna sosmed bahwa bedakan cacian orang normal dengan orang sakit. Agar Anda selamat dari bahaya-bahaya bersosial media.
Sebuah Kisah
Seorang istri, orangnya sangat baik, sopan, menghormati orangtua, suami dan keluarganya. Ia juga seorang pekerja keras, jujur dan penuh empati. Sehatnya selama ini, tiba-tiba sakit jantung, gondok maligna, bertahun-tahun pula ia jalani sakit itu. Ia semi putus asa, hingga suatu ketika ia mengusir suaminya. Suami ini tak tahan akan pengsusiran itu, hingga secara adat, suami itu menghadap mertuanya. "Uwak, istriku mengusirku dari rumah", ucap lelaki setengah baya itu sambil memegang tas berisi pakean untuk pergi.
Mertuanya tersenyum, dia usap ringan ubun-ubun menantunya: "Jangan berlagak bodoh anakku, jangan percaya kata-kata istrimu, karena istrimu sedang sakit". Dan, sang suami itu tertegun dan pulang ke istrinya yang sedang terbaring lunglai sembari memeluk istrinya.
Bila termaktub salah kata-kata, maka maafkanlah aku atas segalanya^^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H