BEGITU banyak tutorial tentang mendidik anak, dan begitu banyak pula orangtua mengeluh soal anak. Ada satu hal yang kerap buatku miris, yakni ungkapan bahwa anak itu adalah beban. Beban yang dimaksud adalah beban ekonomi dan beban sosial. Anak-anak itu bukanlah beban sama sekali, mereka sebenar-benar motivator bagi kedua orangtuanya dan keluarga. Mereka sumber kebahagiaan, jasa mereka sangatlah tak ternilai. Cara memberi kebahagiaan dari mereka begitu abstrak, unik dan tak terdefenisikan namun efeknya nyata. Lihatlah bayi itu, dia hanya mampu bergerak kaku (tangan dan kaki) dan tersenyum, dan hati Anda begitu adem melihatnya, senang, bahagia dan gemes akan senyuman bayi itu.
Amati juga saat mereka tertidur pulas, Anda sebagai orangtua akan sangat tenang, happy dan tersenyum jua menatapnya sambil berucap dalam hati: "Lekaslah besar anakkku, jadilah anak yang baik". Dahsyat sekali, anak sedang tidur itu, mampu mengundangmu untuk berdoa seketika.
Pendampingan 100%
Anda boleh direktur hebat di sebuah perusahaan, pun Anda boleh rektor cerdas di sebuah perguruan tinggi, ataukah Anda seorang motivator ulung di pelosok negeri. Namun Anda bukanlah siapa-siapa bila berada di rumah, tak lebih dan tak kurang, hanya seorang Kepala Rumah Tangga dan/atau hanya seorangIbu Rumah Tangga. Anda atasan sekaligus bawahan di rumah Anda sendiri. Atasan Anda itu adalah anak-anak. Maka, lakukan pendampingan 100%, pendampingan total, perhatian penuh. Bila tak sanggup selenggarakan pendampingan 100%, Anda boleh menawarnya menjadi 90%, 80%, 60%, 50%. Batas toleransi adalah 50%. Kenapa? Karena tak masuk di akal bila seorang ayah tak rutin menanyakan kesehatan anak (bukan hanya melihatnya) tetapi seorang ayah atau ibu wajib bertanya, mengecek kesehatan anak dan beragam problemnya, walau dengan sesederhana mungkin.
Ini suatu penanaman budaya, aspek pembiasaan, bukan pembiaran. Alangkah kerapnya kita bertanya: "Piye kabare? Sehat?" kepada orang lain, sedang pada anak sendiri, Anda bisa menghitungnya seberapa kali Anda tanyakan itu. Ini sebuah 'keanehan' dalam sosial budaya kita. Kita berharap kelewat tinggi kepada anak-anak kita, pengen menjadikannya lebih baik dari kita, lebih kokoh mentalnya, lebih mandiri, lebih penyabar, lebih tahan banting dan "lebih-lebih" lainnya. Sedang kita belum nyadar juga bahwa investasi emosional begitu minim kita berikan, begitu rendah apresiasi, pujian minimalis, hardik maksimalis.
Jangan over nasehat
Riset membuktikan bahwa orangtua-orangtua di Indonesia, ahlinya bernasehat. Dibutuhkan atau tidak, nasehat itu sudah semacam ritual. Mungkin pening 'palanya' kalau gak bernasehat, kadang terlalu sulit dibedakan mana nasehat mana ngoceh bin orkestra. Ada-ada saja celah untuk dijadikan sumber inspiratornya dalam berkhotbah di rumah, berceramah tanpa tepi, tanpa kenal waktu, dan mereka telah puas dengan nasehatnya, seolah itu aksi-aksi konkrit dalam sumbangsih "tumbuh-kembang-psiko" anak. Itu tak salah sepenuhnya, itu manusiawi. Sebab kakek-nenek, ayah-ibu. Mereka perintis pendidikan non formal dengan jurus-jurus nasehat. Kita wajib memidifikasinya!
***
Tahukah Anda bahwa anak-anak itu tak terlalu enjoy dengan nasehat, mereka hanya takut menantangmu, takut melawanmu, pun segan membantahmu. Berfirasatlah bahwa sesungguhnya mereka berkeluh ke teman sebayanya, dan banyak hal ironis nan lucu di sana. Temannya bertanya: "Kamu kenapa, kok suntuk?". Anakmu menjawab: "Saya bete, ibu dan konser melulu di rumah, harus beginilah, harus begitulah".
Nah loh...!
Apa aksimu sebagai ayah ibu?