[caption id="attachment_366476" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi / female.kompas.com"][/caption]
Tak kerontang ide, menuliskan rupa-rupa sosial budaya di Kompasiana ini. Adalah Kota Makassar, dijejali mobil penumpang umum, berplat hitam. Jenis 'usaha' ini berkontribusi melemahkan angkutan umum berplat kuning. Plat kuning -angkutan umum antar kabupaten- merintih. Mereka berkeluh kesah atas maraknya bisnis transportasi berlabel mobil kepemilikan pribadi. Mobil angkutan ini tak wajib bayar retribusi di terminal-terminal. Pun, jika terjadi kecelakaan, tiada asuransi Jasa Raharja baginya. Itu risikonya, hingga kadang-kadang dilakukan razia namun itu hanyalah 'kadang-kadang'.
Telah tumbuh di sini, budaya saling menghabisi dalam mencari nafkah lahiriah. Plat hitam bebas parkir -menunggu penumpang- di sepanjang jalan provinsi di Makassar. Terbilang rame bisnis transportasi semi illegal ini. Uniknya, mobil 'haram' itu berhadapan dengan Pos Polisi. "Yang punya mobil plat hitam itu, polisi Pak", ujar seorang warga.
Bebas Kecelakaan
Mobil penumpang berplat hitam ini, jelas 'merampok' lahan orang lain, mencuri hak-hak rezeki orang lain. Tapi kalimat populer telah menganulir soal bagaimana cara merebut rejeki di Kota Makassar yang kian keras ini, super kompetitif. "Yang haram saja susah, apalagi yang halal". Teorima humanisasi vs dehumanisasi, sepertinya menjadi rumus mutlak di Kota Daeng ini. Sayapun nyaris terprovokasi akan bisnis ini, bagaimana tidak, bisnis ini sanggup menambah pundi-pundi pendapatan hingga Rp.7.000.000 (Tujuh Juta) per bulan.
Saya urung melanjutkannya, karena hadir notifikasi di hati: "Itu haram", kata batinku. Ditambah lagi dengan hasil pertemuanku dengan seorang Kepala Dinas Perhubungan di sebuah kabupaten. Ia sangat berang atas bisnis hitam ini, namun apa daya, ia tak mampu memberantas akan aktifnya mobil angkutan ini beroperasi. Ia berulang-ulang bersuara lantang di depanku: "Kalau ada apa-apa dengan penumpang, mati misalnya, siapa yang tanggung? Maukah sopirnya yang tanggung? Sedang mereka tak punya karcis yang dilengkapi jaminan kecelakaan dari asuransi Jasa Raharja?".
Kudiam saja atas kemarahannya. Sebab ia sangat benar! Ini yang saya maksud bebas kecelakaan, tak terikat bahwa mulai pemberangkatan sampai tiba di tujuan, penumpang tak terikat (bebas) dengan sistem asuransi.
***
Warga Anuti Polisi
Ini momok abadi di negeri ini, aparat sukses membiakkan contoh tak baik, dan masyarakat gilang gemilang 'nyontek' ke polisi, yang katanya penegak hukum. Lalu, ada sebuah LSM yang teramat care dengan gejala ini, LSM ini akhirnya tak berkutik karena perpanjangan STNK mobil dan motonya digratiskan di samsat atas perintah seseorang. Dilemma memang kawan!
Selanjutnya, penulis teringat lagi akan ucapan Kadishub beberapa bulan lalu: "Masyarakat harus sadar, jangan naik mobil angkutan berplat hitam, masyarakat juga wajib insyaf bahwa memilih usaha angkutan plat hitam adalah pelanggaran berlapis. Bila polisi tak mau sadar, biarkan saja mereka kasi makan anak istrinya dengan bisnis legam itu". Papar alumnus di salah satu Sekolah Tinggi di Bandung, Jawa Barat itu.
***
Tulisan ini tiada bermaksud menyudutkan polisi, karena penulis pun keluarga besar POLRI. Tulisan ini juga takkan berpengaruh kepada yang namanya polisi. Hanya untuk dibaca-baca saja bahwa fakta polisi kita memang begitu. Hanyalah Allah yang sanggup memberinya hidayah hingga polisi kita benar-benar kembali ke khittah:"Pelayanan Prima Anti KKN, Anti Kekerasan Adalah Motto Kami".
***
Dan begitu banyak divisi di POLRI, salah satunya adalah Divisi Hubungan Masyarakat, belum lagi Direktorat Lalu Lintas dengan hadirnya Subdit Keamanan dan Keselamatan. Rasa-rasanya semua ini telah lama mati...^^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H