Oh begitu. Ujung-ujungnya soal bahagia, bukan?
Ya iyalah kawan!
Lalu, apa yang kamu amati sekarang terhadapku selaku Kompasianer?
Aku amati gak ada apa-apa!
Kamu keliru sobat, ajakanmu kepadaku agar berbahagia sudah terlambat sekali. Karena bahagiaku itu sudah lama terpatri di batinku sebagai penulis di Kompasiana, memang kubutuh uang, tapi itu bukan segalanya bagiku. Banyak hak terselubung yang kadang kita tak mampu konversi menjadi kebahagiaan. Bukankah menulis di blog, kita sanggup bersilaturahmi sesama penulis? Kita dikoneksikan satu sama lain, bukankah itu kekayaan? Rejeki itu misteri Allah, dan ketika saya ke Jakarta, sahabat-sahabat Kompasianaku sudah antri tawarkan untuk menjemputku, tawarkan rumahnya untuk kuinapi. Lantas, kutepiskah kebahagiaan dengan semua ini? Oh tidak, kawan! Kusudah bahagia di sini! Sebab, Allah selalu punya metode untuk membahagiakan dan menyenangkan hamba-hambaNya.
***
Ucapan panjang kawanku ini, telah cukup membuatku bungkam. Aku telah khilaf persepsi akan makna kebahagiaan. Teramat konsistenku menilai kebahagian itu. Sebab bagiku materi itu, jalan tol menuju bahagia. Ternyata anggapanku absurd, tak mutlak benar. Maafkan aku sobat!^^^