BERSUA kembali Admin Kompasiana dan kawan-kawan Kompasianer. Tiga hari menghilang dari jagad Kompasiana, demi untuk tunaikan tugas keluarga. Dua tugas itu: 1. Juru bicara pada acara terima pinangan/lamaran 2. Juru bicara pada agenda ashabah-muwarris. Di Sulawesi Selatan Barat (Sulselbar), acara lamaran itu sesuatu yang menegangkan, bila salah-salah ucap bisa fatal, bahkan salah satu pihak berpotensi tersinggung hingga lamaran itu batal secara otomatis hanya karena soal komunikasi. Demikian juga perkara pembagian warisan, kalau tak pintar-pintar memainkan ritme kalimat, tak pandai-pandai mengartikulasikan kata, maka justru yang akan terorbit adalah ketegangan demi ketegangan sampai orang bersaudara bisa bertengkar dan adu mulut, adu ngotot. Lah, member Kompasiana kadang-kadang bertengkar juga hanya lantaran komunikasi :D
[caption id="attachment_398611" align="aligncenter" width="300" caption="Koleksi pribadi"][/caption]
(Keterangan gambar: Kompasianer Makassar ini, menjadikan sosok ulama besar dan sufi dari Martapura yang kebetulan nama beliau amatlah mirip dengan nama asli penulis. Beliau bernama Syech Muhammad Arsyad Bin Abdul Rahman Al Banjary. 'Guruku' inilah sangat banyak mengisi bilik-bilik batinku dalam melakukan apa saja, motto hidupnya: keraskanlah hati dalam keihklasan!)
***
Dahulu (entah daerah lain) di Sulawesi Selatan, soal juru bicara memang sudah ada ahlinya, orang ini disebut PABBICARA. Orang ini diundang keliling jika ada acara pinang-meminang, baik acara meminang ataupun dipinang. Bahasa-bahasa dari seorang PABBICARA memanglah puitis, kadang menyentil dengan sangat halusnya tetapi tepat sasaran, taktis dan efektif. Dan inilah 'hukum' Pabbicara/Juru Bicara:
Naiyafa ri yase tau. Narekko saddanna mancaji ada. Inappai adanna mancaji warekkada. Inappasi warekkadanna mancaji adek.
Artinya:
Seseorang baru dapat disebut manusia bila suaranya melahirkan kata, kumpulan kata-katanya menjadi kalimat, deretan kalimatnya terususun sesuai kaidah, kaidah itu menjadi adat atau hukum.
Sabda Klasik: Berlatih
Ini ajaran filosof Socrates, yang menyatakan bahwa sebaik-baik komunikasi adalah kontak langsung tanpa media semisal handphone atau skype. Dan saya meyakini bahwa gaya ala Socrates yang kerap disebut gaya sokratik takkan mampu raib dari muka bumi ini, secanggih apapun teknologi. Ini bukan cerita, bukan pula karang-karangan. Kedua teknik itu, saya pernah alaminya; memberi kuliah langsung dan kuliah tak langsung (skype). Kuliah langsung memiliki sensasional yang luar biasa, menghadirkan unsur-unsur emosional, timbangan psikologik dan takaran-takaran interaksi gelombang psikis antara fasilitator (dosen) dan peserta didik (mahasiswa). Sedang pembelajaran via media/skype, kelewat satire bila saya menyebutnya adalah jalan terakhir/alternatif. Di balik itu, pun hadir 'pameran' teknologi. Lagian, saya bisa kasih kuliah jarak jauh hanya pakai baju lengan panjang tapi tidak pakai celana, toh mahasiswaku yang jauh di Papua tiada melihatku seutuh badan kok...hihihi
Inilah yang saya latihkan sebelum menjadi pabbicara:
- Memasteri back ground audiens
- Memetakan status sosial audiens
- Eliminir bahasa-bahasa ilmiah
Kali ini penulis lebih condong menuliskan agenda pertama yakni acara pinangan. Tiga poin di atas  itulah yang saya asah, ketiganya sama pentingnya walau saya kesulitan di area bahasa ilmiah, mengingat selama 21 tahun menjadi akademisi telah terbiasa dengan bahasa-bahasa ilmiah. Ini bagian tersulit bagiku sebagai jubir di kampungku yang masih alami itu. Baik orangnya maupun alam sekitar, semua masih natural, bahasa mereka pun masih ndeso sekali. Saya bangga hadir di antara mereka, sebab kulahir di sana. Alhamdulillah, tak satupun kata ilmiah yang terlontar dari bibir seksiku ini. Hi hi hi
[caption id="attachment_398613" align="aligncenter" width="300" caption="Peran pabbicara dalam pernikahan ala Bugis-Makassar ini sangatlah vital (andihaliza.blogspot.com)"]