Terkadang saya jadi tertawa sendiri dengan sikap istri atas hobi  menulis yang saya jalani selama ini.
Ketika saya sedang menghadapi laptop, atawa membaca buku, selalu saja membuat saya terganggu.Â
Betapa tidak. Kalau tidak ngomel-ngomel, maka menutup pintu dengan cara dibanting, atawa hilir-mudik keluar-masuk kamar tempat saya melakukan aktivitas tersebut, merupakan hal yang tak pernah dilewatkan.
Terlebih lagi di saat meminta uang untuk belanja kuota internet bulanan, maka omelannya pun akan semakin menjadi-jadi.
Menyikapi hal itu, dalam hati  saya memang selalu muncul perasaan jengkel, dan ingin balik mengomelinya.
Akan tetapi, di saat menerima pemberitahuan via email dari pihak media, bahwa tulisan yang saya kirim telah dimuat, dan meminta saya untuk nengirim nomor rekening, sikap isteri pun berbalik seratus delapan puluh derajat.
Dengan muka ceria, dia memberikan nomor rekening bank miliknya, saat saya memintanya. Karena sudah komitmen saya, setiap ada honorarium dari media yang memuat tulisan saya, harus masuk ke rekening ibunya anak-anak.
Selain karena memang saya tak biasa memegang uang, juga saya berharap jika hobi menulis yang saya tekuni selama ini bukan sesuatu hal yang sia-sia.
Sungguh. Setelah resign dari pekerjaan yang memang tidak lepas dari kegiatan tulis-menulis, karena usia yang sudah semakin tua, mungkin dianggapnya kegiatan menulis yang saya tekuni tak lagi menghasilkan finansial.
Bahkan dianggapnya hanyalah membuat repot dirinya saja.Â
Selain karena selalu harus membuatkan kopi yang lebih dari biasanya, maksud saya kalau seang menulis saya biasa harus ditemani kopi, ditambah lagi anggaran untuk kuota internet, dan uang bensin untuk mengunjungi perpustakaan di kota, adalah mungkin juga sebagai beban tambahan baginya.