Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kenapa Orang yang Berbuat Jahat Sering Berdalih Khilaf?

19 Desember 2019   14:02 Diperbarui: 19 Desember 2019   14:28 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Tribunnews.com

Seorang maling ayam  tertangkap oleh ronda malam. Hanya saja saat diinterogasi di pos kamling, si maling berdalih rada-rada menyentuh hati mereka yang menyaksikan.

"Saya mengaku telah berbuat khilaf. Saya betul-betul kebingungan, anak bungsu saya sakit keras. Sedangkan uang untuk biaya pengobatan sama sekali saya tidak punya lagi. Apa boleh buat, terpaksa saya melakukan perbuatan jahat ini," keluhnya sambil mengacungkan kedua tangannya, meminta ampunan.

Bisa jadi warga pun yang semula sudah beringas, hendak menghakimi si maling, akhirnya surut juga kemarahannya. Hatinya trenyuh, karena tersentuh dengan argumentasi orang yang semula dianggap jahat itu. terlebih lagi jika mereka memang tahu kondisi kehidupan maling itu sehari-harinya.

Maka mereka pun melepaskannya. Usai dinasihati, tentu saja. Janganlah sekali-kali berbuat jahat lagi. Lebih baik berterus terang kalau memang membutuhkan. Tak lupa Pak RT pun memberikan sedikit uang untuk membantu kebutuhannya.

Lain halnya dengan seorang suami tertangkap basah oleh istrinya sedang berbuat mesum dengan ibunya sendiri. Menantu dengan ibu mertua itu melakukan hubungan laiknya suami dengan istri. Kemudian istrinya pun histeris. Tidak sudi menerima kenyataan di depan matanya.

Para tetangga, termasuk ketua RT, berdatangan menghampiri rumah tempat kejadian. Lalu menantu dan ibu mertua tersebut ramai-ramai diinterogasi.

"Saya khilaf, Pak," kata menantu yang diikuti anggukan kepala ibu mertua.

Sepertinya warga tidak akan begitu saja percaya dengan alasan yang mereka berdua kemukakan. Walaupun misalnya khilaf salah masuk kamar sekalipun. 

Orang akan menduga kalau ibu mertuanya memang sudah gatal, sementara anak menantunya jelas-jelas tak punya moral. Sehingga alasan karena khilaf pun dianggap hanyalah dalih yang dibuat-buat.

Demikian juga dengan seorang koruptor yang sedang diperiksa aparat penegak hukum, atawa sedang ditanya awak media dalam konferensi pers usai pemeriksaan, seringkali kita mendengar, atawa membaca di media. Pejabat korup tersebut mengaku telah berbuat khilaf juga.

Mendengar atawa membaca dalih oknum pejabat semacam itu, maka kita pun hanya bisa tersenyum kecut belaka. Sama sekali tidak percaya dengan yang dikatakannya. Suatu hal yang mustahil seorang oknum aparat negara, baik sipil, militer, maupun polisi, jaksa, dan hakim, bisa dibuat khilaf  manakala melakukan perbuatan tercela yang merugikan negara.

Perbuatan korupsi tidaklah secara spontan dilakukan. Ketika ada sebuah proyek misalnya, maka proyek itu sebelumnya ada perencanaan dengan perhitungan anggaran yang dibutuhkan. Pejabat yang terlibat dalam proyek itu semuanya mengetahuinya.

Di saat proyek itu akan ditenderkan saja misalnya, bagi oknum pejabat korup sudah mulai pasang kuda-kuda. Sebagaimana yang dilakukan Setya Novanto dalam korupsi proyek KTP elektronik misalnya.

Jadi mustahil mantan Ketua umum partai Golkar, Setya Novanto khilaf. Mustahil seorang mantan ketua MK, Akil Mochtar dan Patrialis Akbar melakukan perbuatan culas hanya karena khilaf belaka. 

Begitu juga seorang Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, dan seabreg koruptor di negeri ini yang sudah dijebloskan di balik terali besi, telah melakukan korupsi hanya karena khilaf belaka alasannya.

Suka maupun tidak, semua perbuatan mereka yang merugikan negara, jelas-jelas direncanakan, bahkan dilakukan dengan terstruktur dan sistematis. Para koruptor itu memang telah merencanakan perbuatan jahatnya demi memperkaya dirinya sendiri.

Sehingga sudah tidak tabu lagi jika para koruptor diberi predikat manusia tidak berakhlak. Sama sekali tidak memiliki moral. Dalam hatinya sudah tidak peduli dengan salah dan benar. Hukum dianggap hanyalah barang mainan. Karena di matanya hukum itu sendiri sudah bisa ditukar dengan uang.

Lalu, dalih apa lagi yang hendak dikemukakan bila kenyataannya demikian. Apakah masih tetap akan ada pembelaan agar vonis hukuman diringankan? Apakah hakim sendiri masih memiliki nurani dengan alasan kemanusiaan dengan pelaku korupsi yang jelas-jelas merugikan seluruh bangsa ini, sementara di luar mahkamah persidangan masih begitu banyaknya rakyat yang masih kelaparan?

Sebagaimana yang saat ini disaksikan bangsa ini. Mahkamah Agung, sebagai lembaga keadilan paling tinggi di negeri ini, seringkali melakukan hal yang kontroversial dengan keputusannya terhadap para pelaku extra ordinary crime, atawa kejahatan luar biasa yang jelas-jelas merugikan negara.

Dengan memberikan kortingan vonis hukuman terhadap koruptor, dianggap sungguh-sungguh sudah mencederai nurani seluruh bangsa ini. Yang masih berharap hukum ditegakkan seadil-adilnya, tentu saja. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun