"Saya takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Watak keras istri saya, tidak menutup kemungkinan akan semakin menambah runyam persoalan. Tak terbayangkan kalau sampai terjadi keributan, hingga akhirnya terjadi perceraian. Bagaimana jadinya dengan nasib anak-anak kami?"
"Tapi kalau tetap dibiarkan seperti sekarang, tokh kamu juga yang merasa tersiksa. Siapa tahu istrimu pun merasa tersiksa juga dengan sikapmu yang sudah membiarkan persoalan jadi mengambang tidak karuan. Coba kalau ada komunikasi. Kamu dengan istrimu berbicara dari hati ke hati, " saya menyodorkan saran.
Lagi-lagi dia menggeleng.
"Tidak semudah itu, Kang. Harga diri saya sebagai seorang suami benar-benar sudah tak ada lagi. Seakan sudah dibuang ke tengah lautan. Nyali saya pun sebagai lelaki rasanya sudah lama hilang sama sekali.
Coba saja bayangkan, Kang. Ketika saya di PHK, saya merasa terpuruk, dan kehilangan rasa percaya diri. Sementara sikap istri saya, jangankan memberi dorongan semangat agar saya  bangkit kembali. Sebaliknya justru malah menyebut saya sebagai banci. Mungkin sampai saat ini yang tidak pernah, atawa belum keluar dari mulutnya itu mengusir saya secara terus-terang, agar saya angkat kaki dari rumah kami.
Menyikapi sikapnya yang pergi dan datang sesuka hatinya, meskipun dalam hati terkadang ada kecurigaan, jelasnya jangan-jangan melakukan perselingkuhan, akan tetapi saya senantiasa mencobanya untuk disimpan dalam hati saja. Belum pernah sekalipun saya menegurnya.
Pokoknya kami seperti orang asing di dalam rumah kami sendiri. Segala sesuatunya pun dilakukan masing-masing. Mulai dari tidur, kami pisah kamar masing-masing. Sampai urusan makan, masing-masing memenuhi keperluan sendiri saja. Bahkan cuci pakaian pun demikian."
"Bagaimana dengan anak-anakmu?"
"Entahlah. Apakah mereka tidak mengetahuinya, atau memang menyadari, tapi pura-pura tidak terjadi sesuatu. Soalnya kehidupan mereka normal-normal saja. Berjalan seperti sebelum terjadi perselisihan di antara kedua orang tuanya. Tapi kalau keadaan saya yang jadi pengangguran, anak-anak kelihatan sudah menyadarinya.
Hanya saja terus terang. Saya merasa prihatin dengan anak-anak kami. Mungkin di luar mereka bersikap seperti biasanya. Tapi bila seperti saya, disimpan dalam hatinya, saya khawatir akan mengganggunya juga."
Gila. Saya menggerutu. Tapi hanya dalam hati, tentu saja. Sebenarnya dia sendiri menyadari dengan akibat dari keadaan hubungan ayah dan ibunya yang tidak harmonis itu.