Usai menunaikan salat Asar, terdengar pintu depan diketuk orang seraya mengucap salam.
Istri saya bangkit dari sajadah, lalu beranjak ke ruang depan sambil menjawab salam tamu yang datang. Sementara saya berganti sarung dulu dengan celana panjang, tak lupa melipat sajadah yang terhampar.
Baru saja akan ke luar, di depan pintu kamar istri saya sudah menghadang.
"Ada Mang X (mohon maaf, nama jelasnya tidak disebutkan), Pak, " katanya.
O, saya ingat. Di kebun tadi siang, Mang X janji akan datang ke rumah ba'da Asar. Bisa jadi  masih ingin 'curhat' dengan masalah yang selama ini menimpa kehidupan rumah tangganya.
Sebaiknya Baca dulu: Kenapa Istriku Selingkuh?
"Kebetulan tidak ada kegiatan diluar," katanya setelah kami bersalaman.
"Kalau musim hujan begini, saya malas keluar rumah. Biasanya sambil menunggu waktu magrib, paling membaca, atawa nonton televisi," sahut saya sambil mempersilahkannya duduk kembali.
Tiba-tiba dari ruang tengah mucul istri saya.
"Mang, minumnya apa? Kopi atau teh?" tanya istri saya kepada tamu kami.
"Ah, jangan repot-repot, Bu," sahut Mang X berbasa-basi.
"Ih, masa tamu tidak disuguhi. Sudah kopi saja, ya. Biar sama dengan bapaknya," kata istri saya lagi seraya beranjak pergi.
"Bagaimana, Mang? Mau dilanjutkan?" tanya saya setelah kami kembali berduaan.
Ia tidak menjawab. Kepalanya melongok ke ruang tengah. Dan saya maklum. Bisa jadi takut istri saya ikut nguping. Â
"Bolehlah. Kita tunggu dulu sampai istri saya selesai membuat kopi. Kebetulan diapun ada kesibukan sendiri. Biasa. Nonton sinetron pavoritnya," kata saya agar tamu bisa tenang kembali.
Untuk sesaat kami ngobrol ngalor-ngidul. Sambil menunggu istri saya muncul. Untuk menyuguhkan kopi, tentu saja.
Hanya saja kelihatannya tamu saya kurang bergairah. Bisa jadi pikirannya terpusat pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Sehingga obrolan kami pun untuk sesaat terasa hambar. Betapa tidak, ia hanya menjawab ya dan tidak saja. Terkadang sekedar mengangguk dan menggelengkan kepala.
Untung saja istri saya muncul. Sambil menaruh gelas di atas meja, istri saya mempersilahkan tamu kami untuk meminumnya.
"Terima kasih, Bu. Tapi minumnya nanti sebentar lagi, Bu. Kelihatannya masih begitu panas. Kalau langsung diminum, bisa-bisa bibir saya melepuh," kata tamu saya sambil ketawa.
Mang X menghela nafas saat istri saya beranjak meninggalkan kami. Kami saling bertatapan.
"Sebentar. Saya ambil rokok dulu," kata saya sambil bangkit dari duduk dan beranjak menuju ruang tengah. Sekalian untuk memastikan istri saya, apa mau menguping pembicaraan kami, atawa memang tak peduli.
Memang benar, istri saya sudah duduk di ruang tengah sambil menghadapi layar televisi. Sehingga aman bagi tamu kami untuk mencurahkan isi hatinya hanya kepada saya sendiri.
"Tenang, Mang. Semuanya aman," kata saya sambil kembali duduk, seraya meletakkan bungkusan rokok di atas meja.
"Silahkan rokoknya," kata saya menawari. Maksudnya biar merasa nyaman saja.
"Maaf. Saya sudah satu tahun ini tidak merokok lagi, Kang," cetusnya.
"O iya. Maf saya lupa. Tadi siang di kebun sudah dikatakan. Kalau begitu silahkan diminum kopinya. Mungkin sudah bisa diminum," kata saya sambil mengangkat gelas.
Kami sama-sama meniupi kopi yang masih mengepulkan uap. Sambil menikmati aromanya, tentu saja.
"Lalu, bagaimana kelanjutannya, Mang?" tanya saya setelah kami meletakkan gelas di atas meja.
"Begitulah, Kang. Makanya saya datang ke sini, saya mau minta saran dari Akang. Harus bagaimana saya menyikapi masalah yang saya hadapi ini," sahutnya.
"Lha, maksudnya?" tanya saya. Sementara hati saya merasa tersanjung. Apa bisa saya mencari jalan keluarnya?
"Saya sudah melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau istri saya sudah berselingkuh dengan lelaki itu, Kang. Tetapi masalahnya, saya merasa bingung. Kelakuan istri saya itu jelas-jelas merupakan sebuah penghianatan. Tapi sejauh ini saya tak kuasa untuk mengambil tindakan kepadanya. Apa lagi kalau sampai menceraikannya.
Akan bagaimana jadinya jika hal itu diketahui oleh seluruh warga kampung kita. Terlebih lagi anak-anak kami yang sudah berumah tangga. Betapa memalukannya. Rumah tangga kami yang sudah terbina cukup lama, akan berantakan seketika. Sudah pasti anak-anak akan terpukul sekali, dan menjadi korban yang menyakitkan.
Saya tidak mampu membayangkannya kalau sampai hal itu saya lakukan. Â Lagi pula saya menduga kalau istri saya sepertinya kena guna-guna orang pintar itu. Jadi bukan karena niat yang keluar dari hatinya sendiri dia melakukan perbuatan itu."
"Bagaimana bisa menduga kalau istrimu diguna-guna?" tanya saya memotongnya.
"Saya melihat dari perilakunya yang tidak seperti biasanya, Kang. Saya sendiri mulanya keheranan. Setiap malam Selasa dan malam Jumat kliwon, istri saya suka membakar dupa dan kemenyan. Padahal sebelumnya tak pernah sekalipun melakukan ritual seperti itu.
Selain itu, iapun selalu saja mengolesi anggota tubuhnya dengan minyak wangi yang baunya jauh berbeda dengan farfum yang biasa ia gunakan. Iya, serupa yang biasa digunakan orang pintar begitu."
"Tapi bagaimana awal mula Mang X dengan istri bisa mengenal orang pintar, alias dukun itu?" tanya saya.
"Semula kami punya masalah keuangan, Kang. Maksud saya istri saya punya simpanan di koperasi. Tapi ketika setiap kali akan diambil, pengurus koperasi selalu saja menghindar. Alasannya inilah, itulah... Sampai ahirnya istri saya mendapat saran dari koleganya. Sesama anggota koperasi. Kebetulan teman istri saya itu juga punya tabungan di koperasi. Dan temannya itu berhasil mengambil tabungannya berkat bantuan orang pintar.
Bisa jadi istri saya pun tertarik untuk menggunakan jasa orang pintar yang disarankan temannya. Ia pun mengajak saya untuk mendatanginya. Padahal sebelumnya saya sendiri tidak biasa berhubungan dengan dukun. Hanya saja karena permintaan istri sendiri, apa boleh buat saya menurut saja.
Karena yang berkepentingan istri saya, maka yang berkonsultasi dengan orang pintar itu ya istri saya. Sementara saya sendiri menunggunya di ruang depan rumah dukun."
"Lalu setelah itu, uang di koperasi dapat ditariknya kembali?" potong saya agak kurang sabar.
Mang X menggeleng lesu. "Menurut istri saya sampai beberapa minggu kemudian, belum sampai waktunya. Jadi harus bersabar menunggu waktu yang baik. Sementara itu, oleh orang pintar, katanya, masih sedang terus diusahakan melalui caranya sendiri.
Hanya saja yang jelas, istri saya jadi sering pergi ke rumah orang pintar itu sendirian. Tanpa saya kawal lagi. Sampai sanak-saudara saya menaruh curiga. Dan mereka pun mengingatkan saya.Â
Selanjutnya sebagaimana yang telah saya ceritakan, dengan mata kepala saya sendiri akhirnya saya tahu kalau istri saya sudah berselingkuh dengan orang pintar itu.
Saya harus bagaimana, Kang menyikapi masalah ini?"
"Padahal seharusnya sedari awal, Mang X tidak merestui istrinya untuk pergi ke dukun. Tapi apa boleh buat memang. Nasi sudah jadi bubur," kata saya. Tampak tamu saya seperti merasa terpukul. Saya pun kembali angkat bicara lagi.
"Hanya saja jika Mang X ingin menyelamatkan rumah tangganya, bagaimana kalau istrinya diajak bicara baik-baik. Berterus-terang saja kalau Mang X sudah mengetahui perbuatan istrinya dengan dukun itu. Dan apabila istrinya bersedia untuk tidak melakukannya lagi, Mang X harus janji untuk memaafkannya. Lalu kalau seandainya sudah begitu, ingatkan istrinya untuk tidak berhubungan lagi dengan dukun itu. segala sesuatu yang pernah diberikan dukun itu, buanglah jauh-jauh.
Lalu ajaklah istrinya untuk bertobat kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Perbanyaklah untuk melaksanakan salat malam seraya memohon ampunan kepadaNya. Bukankah menurut guru ngaji kita pun, haram hukumnya seorang beragama Islam meminta bantuan kepada selain Allah untuk sesuatu permasalahan.
Kira-kira Mang X sanggup melaksanakan yang tadi saya sarankan?" tanya saya kemudian.
"Insha Allah. Akan saya coba..." *** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H