Saya tiba-tiba teringat pada novel karya Knut Hamsun, "Lapar", atawa edisi Bahasa Inggrisnya "Hunger". Sementara Judul aslinya adalah "Sult", yang berkisah tentang seorang penulis yang miskin, dan seringkali didera kelaparan.
Betapa kisah yang ditulis pengarang asal Norwegia itu seakan-akan diri saya sendiri yang saat ini juga merasakan perut kosong, dengan usus yang melilit-lilit minta untuk diisi. Oleh makanan, tentu saja.
Sesuap nasi, atawa sekerat roti bisa jadi akan jadi penangsal lapar yang sekarang ini saya alami. Hanya saja tiada roti, juga tak ada nasi. Di sekitar saya hanya ada puntung-puntung rokok yang berserakan.
Lagi pula bukan karena bernasib seperti tokoh si "Aku" dalam novel yang meraih penghargaan Nobel kategori Sastera di tahun 1920 itu. Bukan. Melainkan karena di rumah tak ada sesiapapun, kecuali saya.
Sudah dua hari ini stri dan anak gadis saya sedang di kota. Menengok anak kami yang tinggal di sana. Â Walhasil saya harus masak sendiri untuk memenuhi kebutuhan perut selama ditinggal pergi. Hanya saja di hari ini, sejak pagi saya terlalu asyik menghadapi layar laptop, sehingga lupa waktu dan lupa makan juga.
Sebagaimana biasa, selama menulis saya cukup ditemani rokok dan segelas kopi saja. Hanya saja bila tiba waktunya makan, istri saya selalu mengingatkannya. Sehingga saya pun memiliki waktu jeda yang cukup. Selain mengisi perut, saya pun bisa meluruskan otot-otot kaki yang lama tertekuk.
Namun berhubung kali ini tak ada orang lain di rumah, saya jadi terlalu asyik dengan aktivitas keseharian saya. Lupa makan, dan tak ingat untuk istirahat barang sejenak. Sekedar jeda dari kegiatan menulis, paling saat rokok habis untuk kemudian diganti dengan yang baru lagi. Selain itu, juga di saat meneguk kopi untuk sekedar membasahi tenggorokan.
Di saat perut berkeriuk, dan usus-usus di dalamnya terasa perih melilit, hari telah menjelang sore. Dan saya sadar bahwa sedari pagi perut ini belum terisi oleh apapun, kecuali segelas kopi.
Ya, merasakan lapar seperti ini, mengingatkan saya pada tokoh "Aku" dalam novel karya Knut Hamsun itu. Bahkan saya berpikiran, jangan-jangan tokoh "Aku" adalah Knut Hamsun sendiri. Sehingga saya pun membayangkan, betapa perjuangan seorang penulis muda yang tak lain Knut Hamsun sendiri (?) hidupnya tidak menentu. Berpindah dari satu penginapan ke penginapan yang lain karena diusir -- baik secara halus maupun terang-terangan- oleh induk semangnya karena biaya penginapan tak kunjung dibayar.
Hanya saja sebagai penulis muda yang memiliki keteguhan yang membaja, dikisahkan ia tak mau jatuh sebagai gelandangan, atawa pengemis. Dirinya tetap konsisten memperjuangkan hidupnya sebagai penulis muda yang miskin, dengan tiada henti berkarya. Menulis artikel, cerpen, atawa cerbung untuk kemudian dikirim ke berbagai penerbitan. Baik koran, atawa juga majalah.
Perjuangan seorang penulis yang di mata saya sedemikian tragis, tidak hanya ditemui dalam novel tersebut di atas saja. Dalam kenyataan yang pernah saya temuipun memang ada juga. Benar-benar ada. Bukan imajinasi, dan bukan hoax. Itu betul-betul pernah terjadi.
Hanya saja dalam tulisan ini saya tidak akan menyebut namanya. Hal itu untuk menjaga privasi yng bersangkutan, sebagai salah satu bentuk rasa hormat saya terhadap beliau.
Pada awal-awal karir sebagai penulis, juga sebagai pendatang di belantara kota Jakarta, dalam kesehariannya seringkali didera rasa lapar. Karena honorarium dari tulisannya dianggap tidak memadai untuk dapat cukup makan. Belum lagi untuk membeli kertas, dan pita mesin tik (saat itu belum ada komputer dan laptop). Sehingga agar tetap bisa bertahan hidup, ia pun semakin produktif saja.
Lalu sekarang? Selain dikenal sebagai penulis yang diperhitungkan, dari segi finasial pun terbilang 'wah' juga lho.
Oleh karena itu, faktor lapar dan kesengsaraan hidup, ternyata mampu mendorong seorang penulis untuk produktif. Ditunjang pula dengan konsistensi yang tinggi, tentu saja. Â Bisa jadi karena hal itu merupakan upaya, bagaimana agar tetap mampu bertahan hidup. Maka kemampuannya di dalam menulis pun tiada henti terus diasahnya.
Menulis saban hari. Demi sesuap nasi. Dan tanpa sadar, lama-lama hasil karyanya pun semakin meningkat saja. Selain kuantitasnya, kualitas pun ikut menyertainya juga.
Sehingga pada ahirnya, Knut Hamsun  sampai diganjar hadiah Nobel, seorang penulis ternama di Indonesia pun demikian pula. Walau belum sampai dianugerahi Nobel, tapi dalam pergaulannya di kalangan penulis sangat disegani dan dihormati.
Tapi saya berdo'a bagi Kompasianer pemula seperti saya, semoga jangan sampai mengalami lapar berkepanjangan, dan hidup sengsara sampai seperti gelandangan. Tapi tetap konsisten melakoni hobi maupun karir kepenulisannya hingga sukses menjadi penulis kaliber dunia.
Amin. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H