Saat pertama kali mendengar sebutan itu, selain merasa ganjil kedengarannya, saya pun merasa tak habis pikir. Sampai sebegitunya orang-orang memberikan julukan bak kepada binatang sahaja.
Betapa tidak. Di kampung kami, selain dikenal sebagai guru agama di sekolah dasar, ia pun dikenal sebagai ustadz juga. Pendakwah di majelis taklim. Akan tetapi di balik predikat 'terhormat' itu, diam-diam warga pun menjulukinya sebagai pejantan tangguh.
Sungguh kontradiktif memang.
Saya sendiri mengetahui duduk perkara julukan tersebut, yakni pada saat ia meninggal dunia.
Sebagai orang yang sama-sama aktif di lembaga kemasyarakatan desa, ketika itu saya menyempatkan untuk takziyah melayat ke rumahnya yang hanya berbeda kampung saja.
Malahan di saat ia dirawat di rumah sakit pun pernah juga ikut menengoknya. Memang sebelumnya Pak Ustadz itu menderita komplikasi beberapa penyakit. Sebagaimana dijelaskan dokter yang merawatnya.
Terkait keterangan dokter, saya sendiri sebetulnya mafhum juga. Kalau tidak salah, enam bulan sebelum meninggal dunia, setiap bertemu seringkali mengeluh sakit. Kalau tidak sakit pinggang, di lain waktu mengeluh sakit kepala. Terkadang juga merasa sakit perut. Sebagai orang awam, saya hanya menganjurkannya untuk banyak-banyak minum air putih.
Akan tetapi empat bulan kemudian, dikabarkan dia masuk rumah sakit. Artinya dua bulan sebelum meninggal dunia. Â Sakitnya semakin parah.
Hingga ahirnya malakal maut pun menjempunya juga.
Nah, di saat saya melayat itulah, saya menangkap suasana yang sungguh-sungguh mengherankan. Dua orang perempuan, bukan saudaranya, apa lagi istrinya, tampak menangis tersedu-sedu seperti orang yang begitu sangat kehilangan. Sementara istrinya sendiri, saya lihat begitu tabah. Hanya sekali-kali saja ia menitikkan air mata yang segera disekanya dengan ujung jilbabnya.
Untuk mendapat jawaban dari keheranan itu, saya pun pamitan. Untuk berkumpul dengan orang-orang yang telah berkerumun di halaman.