Lalu saya mendekati seorang kenalan, tetangga almarhum juga. Dengan berbisik-bisik, saya menanyakan keberadaan dua perempuan yang sedang menangis di dalam rumah duka.
Mendengar pertanyaan saya itu bukannya menjawab, dia malahan tertawa agak ditahan. Maklum banyak orang di sekitar kami yang sedang turut berduka cita, tentu saja. Kemudian dia berdiri sambil menggamit tangan saya. Saya pun paham. Dia mengajak saya untuk menjauh dari kerumunan orang-orang.
Di samping rumah yang sepi, dia mengajak saya untuk berjongkok. Sekalian sambil merokok.
"Akang ingin tahu kenapa Bu Salmah (samaran) dan Teh Nani (samaran) seperti merasa begitu kehilangan almarhum?" tanyanya. Saya pun mengangguk.
Sebelum berkata, ia kembali tertawa. "Karena sudah pasti tidak bakal ada lagi lelaki yang menghangatkan ranjangnya lagi. Kedua perempuan itu sudah menganggap almarhum sebagai suaminya yang kedua bagi mereka. Karena suaminya yang sah selama ini sudah tidak berfungsi lagi. Alias impoten."
Saya menatapnya tidak percaya. "Yang benar. Kamu jangan mengarang. Jaman sekarang itu hoax namanya. Apa lagi sama guru agama dan ustadz. Jangan-jangan kamu sedang menyebar fitnah?!"
"Kalau tidak percaya, tanya saja teman-teman saya yang rumahnya di sekitar sini."
Kebetulan saat itu ada dua orang tetangga teman bicara saya yang lewat di depan kami. Ia pun memanggilnya.
"Si Akang ini sepertinya tidak percaya kalau almarhum.." dia berbisik kepada orang yang tadi dipanggilnya.
Kedua orang itu pun tetawa dengan agak ditahan. "Betul, Kang. Itu tidak salah. Kalau ingin tahu cerita lengkapnya, kapan-kapan kita ngobrol secara panjang-lebar. Sekalian sambil main ke rumah saya," katanya memberi peluang kepada saya yang selalu ingin tahu ini.
O iya, saya ingat. Ketika masih sehat, beberapa kali Pak Ustadz pernah menawari saya "obat kuat" berupa kopi dengan kemasan sachet. Ketika itu ia pun mengaku sebagai agen penjualan di daerah kami. Para pelanggannya kebanyakan rekan-rekan gurunya.