Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menyoal Rencana Sertifikasi Perkawinan Menko PMK

14 November 2019   23:31 Diperbarui: 16 November 2019   11:21 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) akan mencanangkan program sertifikasi perkawinan.

Dikutip dari Kompas.com, program itu diperuntukkan bagi pasangan yang hendak menikah. Mereka nantinya diwajibkan untuk mengikuti kelas atau bimbingan pra nikah, supaya mendapat sertifikat yang selanjutnya dijadikan syarat perkawinan.

Sebagaimana diungkapkan Menko PMK, Muhadjir Effendi, setiap pasangan yang akan menikah mestinya mendapatkan semacam upgrading tentang bagaimana menjadi pasangan berkeluarga,

Melalui kelas bimbingan sertifikasi, calon suami istri akan dibekali pengetahuan seputar kesehatan alat reproduksi, penyakit-penyakit yang berbahaya yang mungkin terjadi pada pasangan suami istri dan anak, hingga masalah stunting.

Adapun lama pembekalan terhadap pasangan calon pengantin tersebut sekitar 3 bulan, dan program setifikasi itu akan mulai dilaksanakan di tahun 2020.

Bisa jadi yang dimaksud Menko PMK itu ditujukan kepada calon pengantin yang memeluk agama Islam. Karena pada calon mempelai pemeluk agama Katholik misalnya, program tersebut selama ini sudah berjalan.

Terlepas dari itu, penulis menaruh perhatian khusus terhadap masalah ini. Selain itu ada beberapa poin catatan yng akan disampaikan.

Di satu sisi, program sertifikasi perkawinan tersebut merupakan satu hal yang patut mendapat acungan jempol. Boleh jadi pula program yang dicanangkan mantan Menteri Pendidikan itu berangkat dari keprihatinannya terhadap masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai kehidupan berkeluarga.

Selain itu, karena memang dengan masih maraknya kasus pernikahan dini di masyarakat, baik disebabkan budaya lama yang masih berakar kuat, yakni daripada melakukan perzinaan akan lebih baik lagi segera dinikahkan saja.

Pun sebab lainnya pernikahan dini yang disebabkan karena 'kecelakaan'. Hal itu karena pergaulan bebas yang melanggar rambu-rambu norma.

Bahkan bisa jadi program itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari organisasi Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang selama ini menjadi mitra Kementerian Agama. 

Meskipun keberadaan BP4 sudah lama terbentuk, yakni sejak tahun 1961, namun masih banyak masyarakat yang belum terjangkau dengan kebedaannya.

Sementara di sisi lain, sepertinya program setifikasi perkawinan tersebut selain dianggap hanyalah sebagai rencana yang terburu-buru, pun andaikan dilaksanakan pada waktunya nanti, tampaknya tidak akan berjalan sesuai dengan yang dimpikan muhadjir.

Betapa tidak, sudah menjadi kebiasaan banyak calon pengantin yang mendaptarkan untuk menikah ke kantor urusan agama (KUA) paling lambat satu bulan sebelum hari-H. Sementara waktu pembekalan yang direncanakan adalah selama tiga bulan.

Apa lagi jika calon pasangan pengantin itu sendiri masing-masing memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan cukup lama. Ditambah lagi andaikan calon pengantin itu satu sama lain berdomisili di kota yang berbeda.

Demikian juga halnya dalam menyerap pengetahuan yang disampaikan dalam tempo tiga bulan, andaikan dalam sesi penyampaian materi per harinya hanya satu dua jam saja, sepertinya akan sulit untuk dicerna dengan baik oleh pasangan calon pengantin.

Terlebih lagi bila seperti yang tadi disebutkan, kedua calon mempelai itu sebagai pekerja kantoran, atau buruh pabrik. Sementara kelas pembekalan itu dilaksanakan seusai mereka pulang kerja.

Bisa dibayangkan. Peserta bimbingan pun bukannya menyimak materi yang disampaikan. Mereka malah mendengkur karena kecapekan.

Persoalan lainnya yang mesti menjadi catatan adalah dengan dikhawatirkannya semakin besarnya biaya pernikahan yang dipungut pihak KUA.

Selama ini saja, biaya pernikahan yang dipungut penghulu/naib, bagi masyarakat berpenghasilan kecil lumayan besar juga. Sehingga angan-jangan apabila program sertifikasi perkawinan sudah diberlakukan, maka biaya pun akan meningkat pula.

Oleh karena itu, apakah program sertifikasi perkawinan itu tidak sebaiknya dirubah saja, dan dialihkan untuk dimasukkan pada kurikulum pendidikan di sekolah mulai setingkat SMP dan SMA?

Dengan demikian anak-anak sudah dibekali sejak dini tentang pengetahuan hidup berkeluarga secara dini. Apa lagi bila ditambah pula dengan pembekalan pendidikan sex yang sehat, dan dibarengi dengan ajaran ahlak serta moral agar semakin lengkap.

Bagaimanapun dalam tempo enam tahun anak-anak mendapat pengetahuan perihal tersebut, akan tertanam kuat di dalam dirinya bila dibanding dengan waktu tiga bulan, dan dilakukan secara tergesa-gesa.

Selain itu, dengan semakin memperkuat pendidikan norma dan moral dengan jam pelajaran yang cukup lama, paling tidak perkawinan yang disebabkan karena 'kecelakaan' pun bisa diminimalisir lagi. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun