Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Anggap Sepele Masalah Sepele

7 November 2019   05:00 Diperbarui: 7 November 2019   12:52 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertengkaran rumah tangga. (Sumber: shutterstock via kompas.com)

Perselisihan antar warga yang terjadi RT 002, sebenarnya dipicu oleh hal yang sepele: seorang ibu muda, sebut saja S, ketika itu hendak mengantar anak balitanya untuk jajan di warung. 

Untuk menuju ke warung yang letaknya di ujung gang, S harus melewati beberapa rumah tetangga. Kebetulan di depan salah satu rumah yang dilewati, ada beberapa orang tetangga sekitarnya sedang berkumpul.

Sebagaimana biasa harus lewat di depan seseorang atawa sekumpulan orang, pejalan kaki dituntut untuk mengucap "Punten" (bhs. Indonesia: 1. Maap, 2. Permisi), sebagai bentuk sopan-santun yang masih berlaku. 

Demikian juga halnya dengan S. Terlebih lagi karena memang antar tetangga, dan sudah saling mengenal dengan akrab. Selain itu S pun saling bertegur sapa dengan mereka. Bahkan kepada anak balita S yang sedang digendongnya, salah seorang dari mereka menggodanya. Sebagaimana halnya kepada anak-anak. Mungkin karena kelucuannya.

Hanya saja di saat S sudah berlalu agak jauh dari mereka, sekira berjarak 10 meter, salah seorang dari mereka, seorang perempuan sebaya dengan S, tepatnya anak dari pemilik rumah tempat mereka berkumpul,  mengomentari orang yang menggoda anak perempuan balita S dengan nada sinis.

"Wah, anak orang miskin seperti kita harus dipanggil Neng segala. Kalau nang-neng-nong sih boleh-boleh saja," katanya.

Kata-kata N, anak pemilik rumah tempat mereka berkumpul itu rupanya oleh salah seorang dari mereka diadukan kepada S daan orang tuanya.

Tanpa menunggu waktu lama, kedua orang tua S pun menggeruduk N, menanyakan apa maksudnya mengatai cucunya seperti itu. Akan tetapi N dan ibunya, mengelak dan ngotot tidak mengakui telah menghina anak S. Sampai-sampai ibunya N menanyakan siapa orang yang telah mengadukan masalah tersebut.

Rupanya orang tua S penasaran juga. Maka dipanggilnya orang yang mengadukan masalah itu. Meskipun tidak langsung mengakui, N dan ibunya balik memarahi orang tersebut. Disebutnya sebagai tukang adu-domba. Bahkan tidak sebatas mengumpat dan mengomeli, anak dan ibu itu menyerang orang yang dianggap rombeng mulutnya tersebut.

Sebagai seorang lelaki, awalnya yang dituding tukang adu-domba oleh ibu dan anak, hanya mencoba menghindar dan menakis serangan yang dilakukan secara bertubi-tubi. Baik pukulan maupun cakarannya. Hanya saja mungkin karena ahirnya merasa kesal juga, lelaki itu melayangkan telapak tangannya ke pipi ibunya N.

Sontak mendapat tempelengan tangan seorang lelaki, ibunya N langsung menjerit kesakitan sambil memegangi pipinya yang biru-lebam. Kemudian pertikain itu pun dipisahkan oleh seorang tetangga lainnya, seraya menyuruh pulang lelaku itu maupun orang tua S ke rumah masing-masing.

Untuk kembali mendamaikan permasalahan tersebut, ketua RT 002 mendatangi rumah N, orang tua S, maupun lelaki yang ikut terlibat. Hanya saja saat bertemu dengan N, ketua RT malah disemprot oleh N dengan kata-kata yang tidak pantas. Dianggapnya ketua RT tidak becus membuat suasana aman dan nyaman di lingkungannya.

"Begitulah. Baru saja saya berinisiatif untuk mendamaikan, malah dituding yang bukan-bukan. Saya merasa tersinggung juga mendengarnya. Anak itu menganggap sepele sekali terhadap saya. Hanya saja sebagai lelaki, saya merasa tidak pantas untuk melayaninya. Oleh karena itu saya meminta bantuan Pak RW untuk ikut mendamaikan warga kami tersebut," katanya penuh harap.

Sebagai ketua RW, maka saya pun langsung menyanggupi permintaannya. Kemudian saya meminta anggota Linmas untuk mengundang warga RT 002 yang terlibat perselisihan tersebut. Hanya saja sebelum duduk bersama, saya meminta satu per satu dari mereka untuk didengar permasalahan versi masing-masing.

Sebagaimana biasa, tak seorang pun dari mereka tak mau disebut pihak yang salah. Mereka semuanya berdalih, atawa mengemukakan argumentasinya atas terkjadinya perkara itu. tapi terlepas dari itu, saya pun memberikan penjelasan pentingnya hidup rukun antartetangga, baik dari aspek sosial, maupun hukum yang berlaku. 

Terlebih lagi dengan terjadinya kekerasan fisik. Sudah barang tentu hal itu saya jelaskan kepada lelaki yang menempeleng ibunya N tersebut akan mendapat ancaman sanksi pidana.

Maka untuk mengantisipasinya, saya meminta lelaki tersebut untuk memberikan bantuan pengobatan kepada ibunya N, serta sumbangan tali-kasih alakadarnya.

Demikian juga kepada N dan ibunya, meskipun tidak bermaksud menghina, dan sekedar bercanda di sela-sela istirahat, tapi bila menyangkut harga diri seseorang, dan ada pihak ketiga yang tidak suka, maka akibatnya seperti yang baru mereka alami. 

Pun kepada S serta orangtuanya, dengan panjang lebar saya tekankan pentingnya hidup rukun dalam bertetangga. Jangan mudah terpancing oleh hal-hal yang sepele.

Bahkan saya berikan gambaran perlunya menjaga kerukunan antar tetangga, manakala dirinya mendapatkan musibah, misalnya terbakar rumahnya, yang dimintai pertolongan pertama kalinya adalah orang yang paling dekat dengan tempat tinggalnya, tentu saja. Mustahil akan meminta bantuan sanak-saudara yang tinggalnya saja di kampung yang berbeda...

Oleh karena itu saya tekankan untuk kerukunan hidup bertetangga, supaya saling menghargai, saling pengertian, dan jangan ikut-campur privasi keluarga masing-masing. Iya 'kan?  ***

*)Sebagaimana yang dikisahkan Ketua RW di lingkungan kami

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun