"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat, dan dari sejarah"
Tanpa sengaja kubaca kembali quotes mendiang Pramudya Ananta Toer di atas. Sungguh. Sekujur tubuh rasanya menggigil, dan keringat dingin mengucur seketika. Galaupun melanda.
Sejak lama saya telah menabalkan diri sebagai seorang penulis. Dan berkomitmen untuk tak pernah berhenti menulis.
Tapi ternyata ...
Saya  sungguh-sungguh merasa malu. Malu pada diri sendiri, tentu saja. Bagaimanapun saya telah mengkhianati diri sendiri. Dan terlena dalam zona nyaman yang penuh kepalsuan. Konsistensi dan komitmen itu tak lagi dihiraukan.
Cukup lama saya tidak menulis. Seperti misalnya di Kompasiana ini. Begitu asingnya mereka terhadap diri saya. Manakala sekarang ini saya kembali memposting tulisan saya.
Benar memang. Apa yang dikatakan pengarang Trilogi Pulau buru di atas. Saya sekarang ini merasakannya sendiri.
Betapa untuk menulis  kembali, ibarat seorang bayi yang sedang belajar berdiri. Saya harus menggapai-gapai mencari pegangan. Dan berusaha mengumpulkan segenap tenaga untuk mengangkat tubuh yang terasa begitu sulitnya.
Hanya untung saja di tengah kesulitan itu saya teringat nasihat mendiang Ernst Hemingway, pengarang dari negerinya Donald Trump itu. Kalau ditulis ulang secara bebas, kira-kira begini bunyinya: Jika kamu menemui kesulitan untuk menulis, dikarenakan writer block misalnya, maka bayangkanlah bahwa dulu kamu pernah mampu, dan begitu lancarnya menulis.
Begitu juga tatkala sebuah tulisan sudah saya anggap mampu diselesaikan, betapa  saya pun harus mengeditnya berulang kali. Selain karena merasa tidak enak dibaca, juga kata-katanya seperti bukan kata-kata yang telah biasa saya tuliskan sebelumnya.
Bukankah untuk menjadi seorang penulis yang baik, harus bisa menampilkan gaya sendiri. Atawa dengan kata lain bukan meniru gaya penulisan orang lain?