Sungguh. Selain karena begitu kayanya kosakata bahasa Ibu saya itu, juga dalam bahasa Sunda dikenal dengan Undak-usuk Basa-nya, yakni tingkatan-tingkatan dalam menggunakan bahasa kepada seseorang. Apakah lawan bicara kita itu teman akrab dan sebaya, apakah dia itu seorang yang patut dihormati (orang tua, guru, dan orang berpangkat), maka kata-kata yang digunakannya pun akan berbeda-beda walau memiliki makna yang sama saja.Â
Misalnya saja kata "Saya" dalam bahasa Sunda yang diucapkan kepada teman sebaya adalah "kuring", dan bisa juga "dewek". Tetapi kalau lawan bicara kita adalah orang yang patut dihormati, akan berubah menjadi "abdi", ""Jisim kuring", atawa juga "pribados".
Nah lo.Â
Pernah suatu ketika saya mencoba menulis dalam bahasa Sunda. Walau pun terasa sulit ahirnya setelah beberapa hari berkutat untuk mencobanya, satu artikel pendek dapat saya tuntaskan juga. Tapi saat saya meminta seorang teman saya yang kebetulan seorang sarjana bahasa Sunda, juga dikenal sebagai sastrawan Sunda, untuk sekedar menilainya, belum apa-apa, dan baru dibaca sekilas saja, teman saya itu langsung buka suara dengan ketusnya, "Belum layak untuk dimuat!"Â
Hadeuh. Sehingga sampai sekarang saya lebih memilih untuk belajar menulis dengan bahasa Indonesia saja. Karena memang saya merasa banyak menemui kesulitan dalam mengunakan bahasa Sunda yang baik dan benar.
Namun terlepas dari itu, saya tetap merasa bangga berbahasa Sunda. Karena selain saya ini pituin (asli) Â urang Sunda, juga karena begitu kayanya kosa-kata bahasa Sunda tersebut. Kepada sesama urang Sunda saja saya minta tolong untuk mencarikan padanan kata seperti: "Clom giriwil" saat sedang memancing ikan, ada atau tidak ada di dalam bahasa Indonesia persamaan katanya? Teu aya nya (Gak ada ya)?
Itulah. Sehingga patut kiranya kita merasa bangga dengan bahasa Ibu, dan tentu saja wajib hukumnya untuk dilestarikan oleh kita sendiri. Paling tidak untuk memperkaya khazanah bahasa dan budaya Indonesia juga.
Salah satu upaya saya untuk melestarikan bahasa Sunda, paling tidak kepada anak-mantu saya yang kebetulan berasal dari Jawa wetan (Timur). maupun yang peranakan Arab-Bugis dan berasal dari wilayah yang kemarin dilanda gempa dan tsunami itu, sedikit demi sedikit  saya mengaajak bicara dengan dicampur bahasa Sunda sambil menjelaskan artinya. Karena bagaimana pun mereka perlu untuk bisa berbahasa Sunda yang merupakan bahasa dan budaya mertuanya.
Leres teu (Betul 'kan)? Sebagaimana saya sendiri selalu saja ingin belajar bahasa di luar bahasa Ibu saya sendiri yang begitu banyaknya di negeri ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H