Pertanyaan seperti itu seringkali saya dengar dari lawan bicara saya yang baru pertama kali bertemu ketika saya sedang berkunjung ke luar daerah. Misalnya saja di tahu 1980-an saat saya sering berkunjung ke wilayah bagian timur, dan singgah di Ujungpandang, dan sekarang diganti lagi menjadi Makassar seperti semula, pertanyaan "Kamu dari Bandung, ya?" pasti akan terlontar dari mulut lawan bicara saya yang notabene penduduk asli Makassar.Â
Sama halnya sewaktu mampir di Ambon, Jayapura, Dilli, maupun di Atambua, dan Kupang. Selalu saja saya dengar pertanyaan tersebut.
Pada awalnya mendengar pertanyaan itu, saya pun merasa kaget juga. Dan langsung saya pun balik bertanya, "Lho kok tahu?"
Maka jawaban dari lawan bicara saya pun semuanya hampir sama, "Aksen Sundanya masih kental terdengar!"
Begitu selalu. Padahal saya sendiri merasa sudah mencoba bicara dengan bahasa Indonesia, paling tidak dengan dialek Betawi yang paling saya kenal. Padahal saya juga bukan urang Bandung.  Hanya saja bisa jadi anggapan lawan bicara saya tadi menganggap Bandung identik dengan Sunda. Dan memang saya asli suku Sunda, berbahasa sehari-hari bahasa Sunda, tapi tempat saya tinggal di pelosok, sekitar 90 kilometer dari kota Bandung jauhnya  ke arah tenggara.Â
Bisa jadi karena itu pula aksen bahasa Sunda saya begitu kentalnya, walau pun sudah mencoba berbahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya pun.
Begitu pun saat bertemu dengan seorang turis dari Eropa, dengan niat untuk mempraktikan bahasa Inggris yang sekian lama dipelajari di sekolah,, maka dengan penuh percaya diri saya mencoba berlondo-ria untuk menyapanya. Dengan tak kalah hangatnya, turis yang berasal darisalah satu negara di  belahan Eropa sana pun langsung balik bertanya, "Are you from Bandung?"Â
Aneh. Kenapa Si Bule pun bertanya seperti itu. Ketika saya balik bertanya, "How come you know me from Bandung?", maka jawab turis itu, "Your Sundanese accent is so thick..." sahutnya sambil ketawa terbahak-bahak. Kemudian dia pun menjelaskan kalau dirinya sudah sering ke kota yang dikenal dengan sebutan Parijs van Java itu. Sementara saya sendiri hanya tersipu.
Terus terang saja, selain kaget pada mulanya setiap mendengar pertanyaan seperti itu, juga rada-rada malu juga ding, tetapi setelah saya mencoba rekam sendiri untuk membuktikannya, berarti benar, darah yang mengalir dalam tubuh saya ini tulen urang Sunda. Dan saya pun sadar.Â
Karena memang saya dilahirkan dari rahim seorang Ibu yang kesehariannya bicara dengan bahasa Sunda, juga karena tinggal di wewengkon (Wilayah. Pen.) Bumi Parahiyangan. Alias Tanah Pasundan yang secara kewilayahan di negeri ini disebut juga Provinsi Jawa Barat.
Hanya saja terus terang juga, jika saya disuruh untuk berbicara, atawa menulis dalam bahasa Sunda yang baik dan benar, sampai hari ini saya akan langsung angkat tangan. Bukan untuk interupsi. Melainkan karena saya merasa tidak sanggup.