Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pilihannya Jadi Pramusiwi Saja Agar Bisa Membantu Orang Tua

9 Oktober 2018   19:18 Diperbarui: 9 Oktober 2018   19:47 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: fajar.co.id)

Anak perempuan tetangga saya yang baru tamat SMP sudah lama tidak kelihatan. Sedangkan  teman-teman satu angkatannya yang biasa bersamanya, sekarang sudah berseragam putih-abu. Ada yang melanjutkan ke SMA di kota kecamatan, ada yang masuk SMK di desa tetangga, ada pula yang bersekolah di Madrasah Aliyah.

Sementara dengan orang tuanya, terutama dengan ayahnya, sejak dia mendapat pekerjaan borongan mengaspal jalan desa di desa yang terletak di perbatasan, saya dengannya pun menjadi tidak lagi berkesempatan untuk bisa kongkow-kongkow di warung kopi untuk menunggu kantuk tiba seperti biasanya. Maklum dia berangkat pagi pulang sore. Sehingga malamnya dimanfaatkan untuk istirahat total di rumahnya saja.

Hanya saja ketika Sabtu malam tiba, saya bisa bertemu dengan tetangga yang satu ini. Di warung kopi, tentu saja.

"Sudah selesai pekerjaannya, Mang?" tanya saya.

"Belum. Masih dua mingguan lagi kira-kira?" sahutnya.

"Tumben sekarang bisa keluar?"

"Kalau hari Jum'at biasanya juga libur 'kan. Beda dengan karyawan kantoran..."

Lalu kami pun ngobrol ngalor-ngidul. Terutama masalah pekerjaannya. Karena tetangga saya ini sejak Dana Desa dikucurkan selalu saja mendapat pesanan pekerjaan dari hampir setiap desa yang ada di wilayah kami. Untuk mengaspal jalan desa, tentu saja. karena sebelumnya dia pernah jadi karyawan honorer di bagian pemeliharaan jalan pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten. 

Hanya saja sampai sepuluh tahun jadi honorer tidak juga diangkat menjadi pegawai tetap, tetangga saya itu pun ahirnya minta berhenti. Kemudian beralih profesi menjadi buruh tani. Tetapi begitu muncul program Dana Desa,  tetangga saya awalnya diminta oleh Kades untuk menjadi TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) di bidang pembangunan infrastruktur jalan desa.

Bisa jadi karena para kepala desa lain di wilayah kami juga mengetahui hasil pekerjaan tetangga saya itu kualitasnya lumayan bagus, ditambah lagi dengan masalah upahnya tidak terlalu mahal, maka permintaan dari desa lain untuk mengerjakan pengaspalan jalan di desa mereka masing-masing pun selalu kepada tetangga saya itu.

Tetangga saya itu pun tidak bekerja sorangan wae, tentu saja. Anak-anak muda di kampung kami yang masih nganggur, dan berninat untuk bekerja jadi tukang aspal direkrutnya tanpa banyak aturan seperti di kantoran. Sehingga layaklah tetangga saya itu pun untuk mendapat penghargaan dari pemerintah, karena paling tidak telah ikut-serta mengurangi angka pengangguran. Sedangkan untuk alat-alat berat, terutama stoomwalls, ia pun menyewanya dari para kontraktor besar yang ada di ibu kota kabupaten.

"O iya, ngomong-ngomong anak perempuanmu yang kemarin tamat SMP pun sudah lama tidak saya lihat. Apa melanjutkan sekolahnya di tempat lain?" tanya saya.

Mendengar pertanyaan saya itu, wajah tetangga saya tiba-tiba jadi berubah. Sorot matanya meredup, dan kepalanya jadi lesu tertunduk.

Selang beberapa saat kemudian, ia pun mengangkat kepalanya lagi. dengan terbata-bata, ia menjelaskan, "Anak kami tidak mau melanjutkan sekolah. Dia malah memaksa untuk bekerja di kota. Katanya dia merasa tidak tega melihat kami yang harus banting-tulang membiayai kebutuhan dirinya dan adik-adiknya."

"Ahirnya olehmu diijinkan juga, Mang?"

"Apa boleh buat. Karena dia susah untuk dihalangi kalau sudah seperti itu," sahutnya.

"Lalu apa yang ia kerjakan di kota sekarang?"

"Katanya sih jadi baby sister. Seperti kebanyakan anak-anak perempuan di kampung kita juga."

Saya menggut-manggut mendengar penjelasannya. Hanya saja dalam hati saya merasa jengah juga mendengar kata babysitter yang diucapkan menjadi baby sister. Tapi saya mafhum, kebanyakan orang di kampung kami seperti itulah mengucapkan kata yang maknanya pengasuh anak yang dalam bahasa Inggrisnya disebut babysitter tersebut. Sehingga saya sangat setuju menyebut padanan kata babysitter itu dengan kata pramusiwi saja, daripada keliru melafalkannya - sebagaimana yang tadi siang (9/10/2018)  dibahas Kompas TV.

Dan memang benar. Kebanyakan anak-anak perempuan di kampung kami, terutama dari keluarga kurang mampu, belakangan ini lebih memilih untuk bekerja di kota. Kalau tidak menjadi ART (Asisten Rumah Tangga), alias pembantu, ya menjadi babysitter, alias pramusiwi, yakni pengasuh anak orang kaya, atawa di keluarga yang suami-istrinya sibuk bekerja. Di kota, tentu saja.

Dengan gaji awal yang diterima sekitar Rp 750 ribu per bulan, mereka sudah bisa mengirim kepada orang tuanya sekitar Rp 500 ribu. Bahkan ada juga gaji yang diterimanya setiap bulan itu  dikirim semuanya ke kampungnya. Karena urusan makan dan uang jajan lain lagi. Terlebih lagi kalau mendapatkan majikan yang baik, urusan pakaian pun diperhatikannya juga.

Sehingga dengan begitu, anak-anak perempuan mereka yang bekerja sebagai babysitter, eh, pramusiwi di kota, sudah bisa membantu meringankan beban keluarganya. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sekolah adik-adik mereka pun bisa dibiayainya juga. Bahkan tak sedikit juga dari mereka sampai ada yang mampu merenovasi rumah orang tuanya dari kondisi yang semula tidak layak huni menjadi rumah permanen seukuran tipe 36-an.

Seperti kemarin saja, saat hari raya Iedul Adha, seluruh warga kampung kami dikejutkan oleh pengumuman ketua DKM yang menyebutkan bahwa majikan anak perempuan si A dan si B telah menyerahkan seekor sapi untuk warga kampung kami. Sehingga paling tidak, kami warga satu kampung pun ikut menikmati rezekinya.

Sementara urusan bekerja di bawah umur, karena rerata tamatan SMP biasanya berusi 15 tahunan, sebagaimana yang telah menjadi ketetapan pemerintah yang tercantum dalam Undang-undang, bagi warga kampung kami sepertinya tidaklah dipersoalkan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun