Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salah Sendiri

17 September 2018   18:43 Diperbarui: 17 September 2018   19:28 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: pojoksatu.id)

Seorang tetangga saya, nenek-nenek berusia 80 tahunan,  yang rumahnya hanya terhalang sepetak sawah di belakang rumah saya, sudah empat bulan ini sakit keras. 

Menurut mantri yang mengobatinya, terkena stroke. Sebelah tubuhnya mati rasa, sehingga selama empat bulan ini tidak bisa bergerak lagi. Sehari-hari berada di atas kasur saja. Untuk makan, buang air, maupun mandi harus mendapat pertolongan orang lain. Untung saja anaknya yang perempuan, dengan telaten mengurus segala keperluannya.

Sebab-musabab tetangga saya yang satu itu sampai terkena stroke, hampir semua warga sekitar menduga karena yang bersangkutan terlalu banyak masalah selama ini. Kemungkinan besar memikirkan anak-anaknya. Tiga anak lelakinya sekarang ini sedang menduda. Demikian juga anak perempuannya, sulung dari enam bersaudara, statusnya janda. Hanya anak kedua dan ketiga saja yang masih awet rumah tangganya.

Meskipun memang anak-anaknya itu sudah dewasa, akan tetapi dalam urusan rumah tangga ibunya itu selalu saja ikut campur-tangan. Misalnya saja apabila terjadi percekcokan antara anaknya dengan menantunya, ia bukannya menengahi, atawa sebaiknya tidak ikut-campur sama sekali, tetapi yang satu ini justru sebaliknya malah mengompori. 

Menantunya pun dimarahi. Anaknya, walaupun seorang lelaki, selalu saja dibelanya. Padahal ia sendiri tidak tahu duduk permasalahan yang menimbulkan pertengkaran suami-isteri itu. Bahkan siapa yang berada di posisi yang salah maupun benar saja sama sekali belum mengetahuinya. Siapa tahu justru anaknya sendiri yang salah. Bisa saja karena anaknya malas mencari nafkah. Sehingga wajar bila istrinya pun sampai uring-uringan, sementara suaminya tak mau mengalah.

Bisa jadi masalah ekonomi juga rumah tangga keluarga itu selalu saja berantakan. Ditambah ibunya yang selalu ingin dinomorsatukan. Misalnya saja setiap anaknya pulang dari mencari nafkah dari kota, hasil usaha yang seharusnya diserahkan kepada istrinya justru harus terlebih dahulu disetorkan kepada ibunya. Kalau hasil usaha anaknya itu sebesar Rp 200 ribu, maka ibunya akan mengambil Rp 100 ribu untuknya. Dan sisanya baru diserahkan pada menantunya.

Diperlakukan seperti itu, mana ada anak mantu yang mau menerimanya. Meskipun uang itu memang diterima, namun hatinya sudah pasti merasa gondok juga. Hanya apalah daya. Karena meskipun sudah berumah tangga, ketiga anak lelakinya itu masih tetap satu rumah dengan ibunya. Sehingga menantunya hanya bisa mengurut dada. Dan mungkin karena kesabarannya sudah habis, pada ahirnya minta cerai juga. Mungkin anak-mantunya berfikir, buat apa berumah tangga, sudah masih tetap satu rumah dengan ibu mertua, direcoki juga segala masalah suami isteri yang sekalipun bersifat privasi. 

Bisa jadi ketiga anaknya itu walaupun sudah bisa mencari nafkah, tapi kalau sekedar berprofesi sebagai kuli bangunan, lalu yang kedua menjadi pedagang asongan di terminal antar kota, dan yang bungsu bekerja serabutan, apa boleh buat ketiganya pun harus hidup berdesak-desakan dalam rumah berukuran 7 kali enam meter.

Padahal anaknya yang bungsu (40 th) dengan kakaknya ( 43 th) yang paling dekat, sudah dua kali nikah. Dari perkawinan yang pertama, si bungsu sudah punya dua anak. Sedangkan dari perkawinan yang kedua punya satu anak. Sementara kakaknya hanya dari perkawinan yang pertama saja mempunyai dua anak. Adapun anak ketiga (45 th) dari yang bungsu sebaliknya. 

Tiga kali nikah, dia mendapatkan anak dari yang perempuan yang menjadi isterinya untuk kali kedua. Tidak tanggung-tanggung, istrinya memberikan keturunan sampai lima orang anak. Sedangkan dari istri yang pertama dan istri yang terahir dinikahinya tidak satu pun menghasilkan keturunan. Soalnya pernikahan itu hanya berlangsung sebentar saja.

Karena itu juga, beban fikiran ibunya semakin bertambah saja. Selain ketiga anaknya yang tidak jelas mata pencahariannya, ditambah pula harus mengurus sembilan orang cucu yang ditinggal pergi ibu mereka. Sehingga tidak salah dugaan orang, penyakit stroke yang dideritanya karena terlalu banyak beban yang difikirkan, sementara untuk memecahkannya tak juga ia temukan.

Tepat kata orang, jika penyakit yang dideritanya itu karena salah sendiri. Masalah rumah tangga anak masih direcoki. Anak-anak sudah tua masih saja diperlakukan sebagai bocah balita. Mending kalau orang kaya. Untuk makan sehari-hari saja tak jarang pinjam beras sama tetangga. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun