Tetangga di sekitarnya, bahkan orang satu kampung sekalipun, mengenal Mang Jaka dengan mimik muka yang memelas, dan keluhannya yang tak pernah habis-habisnya ia ungkapkan pada setiap orang yang yang ditemuinya. Setiap hari selalu saja ada masalah baru yang dikeluhkannya itu.
Seperti yang diungkapkan kepada Kang Dudung kemarin sore. Saat itu Mang Jaka baru pulang dari sawah. Di persimpangan gang berpapasan dengan Mang Dudung yang baru usai menunaikan shalat Ashar dari mushola.
Ketika itu sebenarnya Mang Dudung sedang terburu-buru untuk kembali ke rumahnya. Tetapi sebagaimana orang bertetangga, maksud Mang Dudung hanya hendak bertegur sapa saja kepada Mang Jaka. Akan tetapi masalah yang diungkapkan Mang Jaka membuat Mang Dudung terpaksa harus mendengarkannya. Paling tidak agar membuat Mang Jaka tidak kecewa.
"Mang Dudung, tahu tidak? Musim ini  bisa jadi sawah saya akan mengalami gagal tanam. Sudah tiga hari ini sawah saya tidak pernah kebagian air. Air di saluran irigasinya pun hanya sampai di sawah yang ada di hulu saja. Ulu-ulu (Aparat Desa yang bertugas mengatur pembagian air di sawah)kabarnya, saban hari kerjanya hanya mengurus ayam-ayam adunya saja. Bagaimana nasib anak-anak dan istri saya kalau begini? Duh, nasib!"
"Salah sendiri, sudah tahu sekarang musim kemarau, kenapa masih memaksa diri untuk menanam padi. Coba kalau sebelumnya Kang Jaka mengikuti himbauan pak Kades agar sawah yang berada di hilir jangan ditanami padi. Tetapi diganti dengan palawija saja. Mungkin usaha Mang Jaka tidak akan sia-sia," sahut Mang Dudung sekenanya.
"Lha, Mang Dudung malah menyalahkan saya?! Seharusnya Mang Dudung membantu saya untuk melaporkan Ulu-ulu kepada pak Kades. Lagi pula bukankah makanan pokok kita sehari-hari adalah nasi. Mana mungkin bisa diganti dengan ketela, ubi jalar, maupun jagung?"
Mang Dudung pun seketika merasa bingung. Berdebat dengan Mang Jaka tak akan ada habisnya memang. Apalagi yang dipermasalahkan urusan Kang Jaka sendiri. Sama sekali bukan urusan diri Mang Dudung. Lagi pula masalah Ulu-ulu yang dikatakan Kang Jaka belum jelas kebenarannya. Bukankah Kang Jaka saja tadi menyebut baru kabarnya saja.
Untung saja ketika itu anaknya yang bungsu datang menyusulnya. Di rumah ada tamu yang menunggu, kata anaknya itu. Sehingga Mang Dudung merasa terlepas dari kebingungannya. Ia pun langsung pamitan kepada Kang Jaka yang masih bersungut-sungut. Begitu juga ketika bayangan tubuh Mang Dudung sudah tak nampak lagi, Kang Jaka malah merasa Mang dudung sudah menyepelekannya.
Lain halnya dengan yang pernah di dengar Bi Unah tempo hari. Waktu itu kebetulan Bi Unah sedang ada di rumah. Karena tak ada orang yang menyuruhnya untuk membantu menanam padi. Sementara itu Kang Jaka akan berangkat ke kebun untuk mencari rumput pakan kambingnya. Karena memang jalan setapak menuju kebun harus melewati rumah Bi Unah yang terletak di ujung kampung, maka hari itu pun Mang Jaka dapat bersua dengaan janda tua itu.
Setelah bertegur-sapa sebagaimana biasanya, Kang Jaka tidak melanjutkan langkahnya. Ia malah jongkok di samping Bi Unah yang sedang meembersihkan beras yang akan ditanaknya.
"Bi Unah, baru mau masak?' tegurnya.
"Iya. Tadi pagi sehabis memetik kangkung untuk dijual ke warung malah keterusan membantu membereskan dagangan Nyai Apong yang baru pulang dari pasar," sahut Bi Unah sambil kembali menampi beras yang tadi terhenti.
"Dasar nasib! Sial amat perut saya hari ini," keluh Kang Jaka.
"Memangnya kenapa?"
"Sejak pagi belum diisi. Subuh tadi sepulang dari mushola disambut omelan istri. Persediaan beras sudah habis. Dan menyalahkan saya yang tidak buru-buru menggiling padi ketika persediaan beras sudah mulai menipis. Padahal mana saya tahu kalau beras habis. Mestinya istri saya sendiri yang mengetahuinya, karena saban hari dialah yang menyimpan dan mengambil beras di gentong. Tetapi entah kenapa, sewaktu saya jawab demikian, istri saya malah semakin menjadi-jadi. Bukan lagi ngomel, tapi berubah jadi marah. Coba bayangkan oleh Bi Unah.
Pagi hari sudah diajak bertengkar. Dengan perut yang masih kosong lagi. Saya pun merasa jadi tersinggung dibuatnya. Piring dan gelas kotor yang belum dicuci pun langsung saya tendang. Sehingga langsung berterbangan, dan pecah berkeping berantakan. Â Melihat kemurkaan saya, rupanya istri saya menjadi ciut juga. Buktinya dia langsung menangis. Dan tak lama kemudian dia lari keluar. Entah pergi kemana. Karena sampai saya berangkat tadi dia belum kelihatan batang hidungnya."
"Makanya kalau istri sedang marah-marah jangan suka dilayani. Bagusnya Kang Jaka pergi saja menjauh darinya. Ditinggal sebentar saja pasti akan kembali tenang. Karena begitulah watak perempuan. Apalagi kalau merasa tidak diperhatikan," Â Bi Unah menasihati.
"Tetapi istri juga mestinya mengerti terhadap suami. Terlebih lagi sepagi itu sudah bikin ulah. Mestinya kedatangan suami dari tempat ibadah paling tidak disambut dengan secangkir kopi hangat dengan sepiring goreng singkongnya. Bisa jadi saya pun akan semakin menyayanginya."
"Tuh 'kan lelaki sih mau enaknya sendiri. Bukankah kopi harus dibeli dari warung. Sedangkan uang untuk membelinya saja tidak diberikan. Begitu juga dengan singkong. Paling tidak harus diambil dulu dari kebun. Hayo, mikir!"
"Ah, Bi Unah malah mendakwa saya. Jangan-jangan Bi Unah sendiri lama menjanda karena tidak pernah mengerti maunya suami. Sehingga ahirnya diceraikan oleh suaminya," Â kata Kang Jaka sambil tertawa.
Mendengar tudingan seperti itu, sontak Bi Unah mencak-mencak.
"Dasar kau, Jaka. Bicara asal mangap saja. Kamu tidak tahu ya, aku bukannya diceraikan oleh suamiku. Tapi karena ditinggal mati. Suamiku tertembak oleh gerombolan DI/TII. Sejak itu aku tak berniat untuk menikah lagi. Meskipun banyak lelaki yang datang melamarku. Termasuk ayah kamu sendiri, sebelum menikah dengan ibumu."
Tengah Bi Unah terengah-engah, diam-diam Kang Jaka pergi meninggalkan janda tua itu. Tapi tidak cukup sampai di situ saja ternyata urusannya. Bi Unah merasa tersinggung dengan omongan Kang Jaka. Karena setelah peristiwa itu, setiap Kang Jaka hendak ke kebun, dan kebetulan bertemu dengan Bi Unah, janda tua itu tak pernah lagi mau bertegur-sapa. Wajahnya selalu ditekuk dengan bibir cemberut. Sekalipun Kang Jaka mencoba untuk berbaikan lagi, Bi Unah sama sekali sepertinya tak mau menanggapi.
 Keluhan Kang Jaka yang lumayan menghebohkan, adalah saat pemilihan ketua RT beberapa tahun lalu. Kebetulan calonnya hanya ada dua orang. Salah satunya Kang Jaka. Kepada warga di lingkungannya, dalam kampanyenya Kang Jaka selalu menyatakan niatnya maju menjadi kandidat ketua RT semata-mata untuk beribadah kepada sesama. Selain itu dirinya bertekad untuk memperbaiki segala kekurangan kinerja ketua RT yang akan diganti, karena memang beberapa bulan sebelumnya mati tertabrak kereta api, di kota saat pak RT menyeberangi rel ketika akan menjajakan dagangannya.
RT sebelumnya memang biasa mencari nafkah di kota. Hanya sesekali saja mudik ke kampungnya. Sehingga urusan warga pun banyak yang terbengkalai. Termasuk masalah keuangan kas RT yang tidak jelas catatannya. Oleh karena itu Kang Jaka akan lebih mengutamakan kepentingan warga daripada urusan keluarganya, kalau nanti terpilih jadi ketua RT.Â
Sementara yang diungkapkan kepada istrinya di rumah, lain lagi alasan dirinya berniat maju mencalonkan diri menjadi ketua RT di lingkungannya itu. Insentif bulanan yang bakal diterima dari desa cukup lumayan untuk menambah uang belanja kebutuhan dapur.Â
Selain itu apabila menandatangani surat pengantar pembuatan KTP, kartu keluarga, akta kelahiran, dan surat-surat penting lainnya yang biasa dibutuhkan warga, sudah tentu bakal mendapat imbalan. Paling tidak dari setiap warga menerima amplop berisi lembaran uang lima puluh ribu rupiah saja, bisa jadi merupakan anugrah yang tiada terhingga.Â
Terlebih lagi kalau dibandingkan dengan kuli macul. Untuk mendapatkan uang yang jumlahnya sebesar itu, harus menguras tenaga dan meneteskan keringat sepanjang hari. Selain itu, harkat dan derajat keluarg pun akan naik seketika. Kita tidak bakal ada yang berani memanggil Kang Jaka dan Bi Oneng lagi. Tapi Pak RT dan Bu RT. Apa tidak menyenangkan?
Hanya saja niat untuk beribadah kepada sesama, dan mimpi untuk memperoleh penghasilan tambahan yang lumayan menjanjikan, serta meningkatnya harkat dan martabat, sirna sudah saat pemilihan usai dilaksanakan. Suara yang diperoleh Kang Jaka jauh berbeda banyaknya dari suara yang mendukung lawannya.Â
Kang Jaka kalah telak memang. Dia hanya memperoleh lima suara. Sementara lawannya tercatat mendapatkan sebanyak 87 suara. Setelah jadi pecundang, Kang Jaka menjadi uring-uringan. Kepada setiap orang dikatakannya bahwa panitia pemilihan telah berbuat curang. Sedangkan lawannya dituding sudah melakukan politik uang.
"Demokrasi di negeri ini sudah tidak murni lagi. Sama sekali sudah tidak memperhatikan lagi calon yang memiliki kemampuan untuk bekerja. Pokoknya yang penting siapa yang memberi uang, maka dialah yang menjadi panutan. Begitu juga dengan panitia pemilihan, netralitas hanya ada di atas kertas. Keberpihakan begitu tampak jelas. Faktor kepentingan pribadi tetap saja membuat keadaan menjadi bias. Sehingga kalau masih juga tetap begini caranya, saya tak akan pernah lagi berniat untuk beribadat terhadap sesama," keluhnya.
Keluhan Kang Jaka bisa jadi didengar oleh setiap orang di kampungnya. Hanya saja setiap mendengarkan hal itu, hampir setiap orang pula tertawa di dalam hatinya.
Betapa tidak, sebelum tiba hari-H pemilihan istrinya yang sedang kuli menanam padi keceplosan bicara kepada teman-temannya. Kalau suaminya nanti terpilih menjadi ketua RT, maka dirinya tidak akan lagi menjadi kuli menanam padi. Bahkan keluarganya akan naik derajat, tidak serendah dari sebelumnya... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H