Benar memang. Selama ini saya merasakan hasilnya. Apabila secangkir kopi dan sebungkus rokok tersedia di atas meja, di samping laptop, dua sampai tiga artikel mampu saya selesaikan dalam beberapa jam saja.
Tetapi keadaan bisa jadi sebaliknya. Jangankan dua-tiga artikel saya bisa selesaikan, untuk menulis satu tulisan saja sulitnya minta ampun. Bahkan tak jarang berhenti di tengah jalan. Karena tidak mampu lagi dituntaskan.
Ketergantungan, atawa lebih tepatnya kecanduan terhadap rokok dan kopi, membikin saya pusing tujuh keliling. Di satu sisi, hasrat untuk menulis teramat sangat sulit dienyahkan.
Sementara di sisi lain jika ide sudah berhamburan, tetapi rokok dan kopi tak ada lagi, maka menulis pun menjadi sulit pula untuk dimulai. Saya pun seolah menjadi sinting. Tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Benarkah demikian?
Tidak. Hal itu tidak boleh dibiarkan. Ide-ide, atawa juga kata orang bijak sering dinamakan ilham, haruslah tetap disalurkan sebagaimana air di di bak jika tersumbat sudah pasti akan membludak. Dan terbuang dengan sia-sia belaka. Sayang memang.
Ilham itu harus tetap dikembangkan, kemudian dijadikan tulisan sebagaimana biasa dilakukan.
Saya tak boleh larut dalam kesintingan hanya gegara tak ada rokok dan kopi. Terlebih lagi anak dan istri harus tetap dinafkahi.
Sebagaimana tempo hari, hanya karena tak ada uang Si Bungsu tidak bisa pergi ke sekolah. Meskipun dia kelihatannya pasrah, karena mungkin memaklumi kondisi ayahnya ini yang tak jelas penghasilannya, tetapi sebagai seorang ayah hal itu menjadi pemantik agar saya lebih bersemangat lagi untuk menghasilkan banyak tulisan.
Dengan demikian dari sekian banyak yang saya kirimkan, satu-dua tulisan di antaranya (syukur-syukur semuanya!), Â ada yang bisa lolos dari tangan editor. Itu artinya saya pun akan menerima honor.
Dan bila honor saya cair, rasanya akan lebih baik lagi untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak kami.