Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Lampu Mati pada Waktu Subuh

1 September 2018   05:24 Diperbarui: 1 September 2018   08:03 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang waktu Subuh, lampu mati. Kumandang shalawat lewat pengeras suara dari masjid di sekitar pun langsung terhenti seketika. Aku yang tengah bersiap untuk berangkat ke mushola, pun mendadak ragu-ragu. Apa sebaiknya menunaikan shalat di rumah saja? Karena sepertinya bakal tak ada seorang pun jamaah yang ada di sana dalam keadaan gelap seperti ini. Termasuk dua ustadz yang biasa jadi imam shalat. Jangankan karena sedang gelap begini, dalam keadaan biasa pun -- maksudnya saat lampu menyala, selalu saja membuat jamaah harus menunggu lama kedatangan salah seorang di antara mereka untuk memimpin kami dalam shalat.

Akan tetapi pilihan untuk shalat di rumah serta-merta sirna seketika manakala aku teringat pada masa lalu, dimana suasana kampung kami belum mendapat aliran listrik. 

Alat penerangan di masjid tempat kami belajar mengaji cukup menggunakan lampu teplok minyak tanah saja. Sementara untuk menerangi kegelapan di perjalanan, aku dibekali lampu senter oleh ibuku. Sehingga sekarang pun kenapa tidak menggunakan lampu senter saja untuk menerangi perjalananku ke mushola. 

Lagi pula aku yakin, meskipun jamaah yang datang akan banyak berkurang, setidaknya Abah Wihanda yang selalu setia menjadi muadzin pasti sudah datang. Sebab orang tua yang satu ini merupakan salah seorang jamaah di mushola kami yang tak pernah absen dalam keadaan gelap seperti sekarang ini sekalipun. Kecuali bila kebetulan sedang menderita sakit. 

Hanya selama ini kalaupun hanya menderita batuk dan flu saja rasanya Abah Wihanda tetap sebagai orang yang pertama berada di mushola. Terlebih lagi bukankah bagi kaum lelaki shalat berjamaah di masjid hukumnya wajib, kecuali kalau sedang berhalangan. Karena menderita sakit misalnya. Pahalanya pun menurut ajengan sampai dua puluh tujuh derajat. Sementara shalat di rumah hanya satu derajat saja. Itu pun kalau shalatnya khusyuk,

Oleh karena itu, segera saja kuputuskan untuk segera berangkat ke mushola. Apalagi jam di hapeku sudah menunjukkan tibanya waktu shalat Subuh. Dengan berbekal lampu senter, dan tongkat bambu kecil, kususuri gang yang menuju arah mushola. 

Ada pun tongkat bambu itu merupakan kakiku yang ketiga, sebagai penyangga tubuh selama ini karena kedua kakiku setiap bangun dari tidur selalu merasakan nyeri, linu, dan pegal-pegal. Sehingga tak mampu menahan beban tubuhku untuk bisa berjalan seperti biasanya.  Sudah tiga bulan ini aku berkutat dengan asam urat.

Sambil menyusuri gang yang lengang dan gelap, ingatanku kembali melayang pada masa belajar mengaji sewaktu masih anak-anak. Beberapa anak yang sudah agak besar dariku, kebanyakan anak perempuan, dari luar rumah memanggil-manggil namaku yang masih berselimut untuk pergi bersama-sama belajar mengaji di mushola. 

Biasanya ibuku yang sudah terjaga akan segera membangunkanku. Lalu menyuruhku pergi ke pancuran di belakang dapur. Untuk mengambil wudlu. Dengan masih merasa mengantuk, aku memaksakan diri untuk menunaikan semua perintah ibu. Bagaimana pun kalau tidak, aku akan mendengar omelan berkepanjangan yang diahiri dengan ancaman tidak akan memberikan uang jajan di saat besok hari berangkat ke sekolah.

Teman-temanku yang menunggu di depan pintu halaman, selain memeluk al Quran, tampak di antaranya ada yang memegang obor dengan apinya yang menjilat-jilat ditiup angin sebagai alat penerangan. Ada juga kulihat salah satu di antara mereka yang membawa sebotol minyak tanah. 

Bisa jadi saat ini merupakan gilirannya sebagai bentuk sumbangan rutin pada guru ngaji kami untuk bahan bakar lampu teplok penerangan saat kami mengaji. 

Memang setiap anak-anak yang belajar mengaji memiliki kewajiban tak tertulis untuk memberikan sebotol minyak tanah secara bergiliran. Bisa jadi juga sebagai bentuk iuran meskipun oleh guru ngaji kami tidak pernah dimintainya.

Guru ngaji kami adalah seorang pemuka agama di kampung kami yang biasa dipanggil Abah Ajengan. Usianya ketika itu mungkin sebaya dengan kakek, ayahnya ibuku. Beliau mengajari kami mengaji penuh dengan kedisplinan yang tinggi. Panjang dan pendeknya, serta tajwid suatu bacaan sangat diperhatikan. Apabila di antara muridnya ada yang salah mengikuti tuntunannya, beliau tidak segan-segan membentak kami. Kemudian menyuruh untuk mengulang kembali bacaan itu sampai benar-benar sesuai dengan ilmu tajwidnya. 

Terkadang kepada anak-anak yang nakal beliau pun suka memberikan hukuman. Mulai dari dipukul di betis dengan menggunakan sapu lidi kecil, hingga disuruh membersihkan tempat wudlu yang seringkali bau pesing yang menyengat. Akan tetapi meskipun demikian, kami semua sangat hormat kepada beliau. 

Sedangkan bagi anak yang mampu mengikuti tuntunannya, beliaupun tidak segan pula untuk memberikan pujian, dibarengi do'a agar menjadi anak yang shaleh dan shaleha.Bahkan dari hasil didikannya yang keras tapi disiplin itu, alhamdulillah dapat kurasakan sampai sekarang menjelang usiaku hampir genap berkepala enam. 

Segala ilmu agama, baik tata-cara membaca al Quran, bacaan shalat, maupun tata-cara shalatnya yang kami terima dari beliau dapat kami amalkan hingga sekarang. Hanya saja aku tidak bisa menjadi guru ngaji seperti beliau. Aku masih saja merasa belum mampu untuk melakukan satu hal itu. Entah mengapa.

Langkah kakiku tinggal beberapa meter saja untuk tiba di mushola. Lewat kaca jendela kulihat ada nyala lilin di dalam. Tampak pula ada tiga bayangan orang sedang menunaikan shalat sunat. 

Kalau tidak salah lihat, kedua ustadz yang biasa menjadi imam  kiranya yang sedang menunaikan shalat itu. Tumben, pikirku. Apa karena gara-gara lampu mati kedua ustadz itu sekarang malah sudah berada lebih dulu dariku, atawa karena ada sebab lain? Entahlah. Hanya saja aku berharap semoga ustadz yang biasa menjadi imam shalat itu senantiasa seperti sekarang. 

Jangan sampai jamaah lama menunggu kedatangannya. Bahkan tak jarang di masjid lain sudah lama berkumandang iqamah, dan diperkirakan sudah menunaikan shalat hingga raka'at akhir, baru satu di ant ustadz imam kami itu muncul dengan wajah tanpa dosanya. Adapun bayangan yang satunya lagi adalah Abah Wihanda, muadzin yang senantiasa mengumandangkan adzan di mushola kami. Itu sudah pasti. Karena hanya orang tua yang satu itu saja yang biasa datang paling dulu dibanding dengan yang lainnya.

Sebelum melangkah masuk, kusempatkan memanjatkan do'a untuk Abah Ajengan. Mendiang guru ngaji kami. Semoga belau di alam kuburnya mendapat ampunan atas segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya, dan mendapat tempat yang layak di sisiNya. Amin ya rabbal 'alamin. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun