Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Lampu Mati pada Waktu Subuh

1 September 2018   05:24 Diperbarui: 1 September 2018   08:03 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber MyDream-WordPress.com)

Memang setiap anak-anak yang belajar mengaji memiliki kewajiban tak tertulis untuk memberikan sebotol minyak tanah secara bergiliran. Bisa jadi juga sebagai bentuk iuran meskipun oleh guru ngaji kami tidak pernah dimintainya.

Guru ngaji kami adalah seorang pemuka agama di kampung kami yang biasa dipanggil Abah Ajengan. Usianya ketika itu mungkin sebaya dengan kakek, ayahnya ibuku. Beliau mengajari kami mengaji penuh dengan kedisplinan yang tinggi. Panjang dan pendeknya, serta tajwid suatu bacaan sangat diperhatikan. Apabila di antara muridnya ada yang salah mengikuti tuntunannya, beliau tidak segan-segan membentak kami. Kemudian menyuruh untuk mengulang kembali bacaan itu sampai benar-benar sesuai dengan ilmu tajwidnya. 

Terkadang kepada anak-anak yang nakal beliau pun suka memberikan hukuman. Mulai dari dipukul di betis dengan menggunakan sapu lidi kecil, hingga disuruh membersihkan tempat wudlu yang seringkali bau pesing yang menyengat. Akan tetapi meskipun demikian, kami semua sangat hormat kepada beliau. 

Sedangkan bagi anak yang mampu mengikuti tuntunannya, beliaupun tidak segan pula untuk memberikan pujian, dibarengi do'a agar menjadi anak yang shaleh dan shaleha.Bahkan dari hasil didikannya yang keras tapi disiplin itu, alhamdulillah dapat kurasakan sampai sekarang menjelang usiaku hampir genap berkepala enam. 

Segala ilmu agama, baik tata-cara membaca al Quran, bacaan shalat, maupun tata-cara shalatnya yang kami terima dari beliau dapat kami amalkan hingga sekarang. Hanya saja aku tidak bisa menjadi guru ngaji seperti beliau. Aku masih saja merasa belum mampu untuk melakukan satu hal itu. Entah mengapa.

Langkah kakiku tinggal beberapa meter saja untuk tiba di mushola. Lewat kaca jendela kulihat ada nyala lilin di dalam. Tampak pula ada tiga bayangan orang sedang menunaikan shalat sunat. 

Kalau tidak salah lihat, kedua ustadz yang biasa menjadi imam  kiranya yang sedang menunaikan shalat itu. Tumben, pikirku. Apa karena gara-gara lampu mati kedua ustadz itu sekarang malah sudah berada lebih dulu dariku, atawa karena ada sebab lain? Entahlah. Hanya saja aku berharap semoga ustadz yang biasa menjadi imam shalat itu senantiasa seperti sekarang. 

Jangan sampai jamaah lama menunggu kedatangannya. Bahkan tak jarang di masjid lain sudah lama berkumandang iqamah, dan diperkirakan sudah menunaikan shalat hingga raka'at akhir, baru satu di ant ustadz imam kami itu muncul dengan wajah tanpa dosanya. Adapun bayangan yang satunya lagi adalah Abah Wihanda, muadzin yang senantiasa mengumandangkan adzan di mushola kami. Itu sudah pasti. Karena hanya orang tua yang satu itu saja yang biasa datang paling dulu dibanding dengan yang lainnya.

Sebelum melangkah masuk, kusempatkan memanjatkan do'a untuk Abah Ajengan. Mendiang guru ngaji kami. Semoga belau di alam kuburnya mendapat ampunan atas segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya, dan mendapat tempat yang layak di sisiNya. Amin ya rabbal 'alamin. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun