Dengan majunya Ketua Umum PSSI, Letjen (Purn) Edi Rachmayadi sebagai bakal calon Gubernur Sumatera Utara dalam Pilkada 2018, maka sudah selayaknya mantan Pangkostrad itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum induk organisasi sepak bola seluruh Indonesia itu.
Pasalnya selain tak elok, karena dikhawatirkan sepak bola dicampuradukkan dengan politik yang kini sedang digelutinya, publik pun yang pada awal begitu tinggi ekspektasinya terhadap sosok Jenderal yang satu ini untuk mengangkat prestasi sepak bola Indonesia, dalam kenyataannya tetap saja seakan masih jalan di tempat.
Bahkan kisruh yang sebelumnya selalu saja mewarnai cabang olah raga paling banyak peminatnya di negeri ini, masih saja tidak mampu diredam, dan diamankan meski petingginya seorang Jenderal TNI sekalipun. Jangankan di tingkat Asia, dalam kejuaraan AFF saja hanya mampu sampai di semifinal.
Seperti misalnya dalam kompetisi liga tahunan antar klub, akibat dari peraturan yang dibuat terkesan tidak jelas, maka tak terhidarkan lagi muncul kemelut yang hampir saja akan membuat kompetisi itu sendiri gagal di tengah jalan.
Sehingga suka maupun tidak, Edi Rachmayadi telah gagal menjadi nakhoda PSSI. Sebagaimana prinsip di dalam tubuh tentara, tak pernah ada prajurit yang bersalah, maka dalam mengelola organisasi sepak bola pun, sebaiknya Edi tak perlu pusing mencari kambing hitam. Seluruh kegagalan menjadi tanggung jawab Sang Komandan. Artinya Edi sendiri yang harus bertanggung jawab atas semuanya.
Sedangkan bentuk pertanggungjawaban Sang Komandan, hanya ada satu pilihan. Mengundurkan diri adalah sikap seorang ksatria manakala tak mampu bekerja sesuai dengan yang diharapkan masyarakat sepak bola indonesia.
Terlebih lagi saat ini Edi akan putar haluan, menjadi kandidat Gubernur Sumatera Utara yang bakal digelar di tahun 2018 ini. Meskipun yang bersangkutan pernah menyatakan tidak akan menyeret sepak bola Indonesia ke dalam kancah politik yang sedang mulai digelutinya, tapi publik tetap saja khawatir, dan curiga. Sebab bagaimanapun olah raga yang menganut prinsip universal dan menjunjung tinggi sportivitas, tidak menutup kemungkinan akan dijadikan sebagai alat untuk meraih ambisi politik yang dikenal penuh dengan intrik dan tipu daya itu.
Tuntutan publik agar Edi Rachmayadi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI, tampak jelas saat Presiden Jokowi meresmikan Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) hasil renovasi, Minggu (14/1/2018) malam. Pada saat pembawa acara menyebut nama Edi Rachmayadi, terdengar gemuruh teriakan penonton yang memadati stadion kebanggaan bangsa Indonesia itu dengan nada penuh kekesalan yang sudah tak tertahankan. Selanjutnya di sana-sini disusul dengan teriakan: Revolusi... Revolusi... Revolusi PSSI.
Tuntutan publik sepak bola tersebut tidak hanya terdengar di seantero SUGBK saja. melainkan masyarakat seluruh Indonesia pun yang kebetulan saat itu menyaksikan acara peresmian stadion itu, sambil menantikan pertandingan persahabatan antara Timnas Indonesia dengan Timns Islandia, ikut mendengarnya juga. melalui layar televisi yang menyiarkannya tentu saja.
Malahan bisa jadi sebagian besar penonton acara tersebut di seluruh Indonesia, ikut berteriak dan mengumpat kegagalan Edi Rachmayadi dalam menakhodai PSSI sebagaimana halnya penonton di SUGBK juga.
Memang tidak haram seorang politikus menjadi pengurus suatu induk organisasi olah raga di Indonesia ini. Hanya saja jika mengamati induk olah raga sepak bola, sepertinya harus benar-benar seorang yang profesional, dan fokus terhadap tugas yang diembannya. Soalnya masyarakat sepak bola Indonesia begitu berharap agar prestasi timnas bisa mendunia.Â