Akan tetapi ketika suatu hari dia pulang mudik ke kampung halaman, kedua orang tuanya ternyata mengembalikan uang yang saban bulan dikirimkannya. Dengan tegas saat itu ayahnya berkata, "Meskipun kami memang butuh uang, tapi kami tidak mau menggunakan dan memakan uang kirimanmu itu. Bathin ayah berkata, bahwa uang kirimanmu itu adalah uang haram!"
Meskipun dirinya sampai meyakinkan kalau memang benar anggapan orang tuanya demikian, dan dia berani menanggung dosanya tanpa melibatkan kedua orang tuanya, namun ayah dan ibunya tetap bergeming. Bersikeras menolak untuk menerimanya.
Dengan penuh rasa kecewa, ia pun kembali ke Jakarta. Hatinya bimbang. Langkahnya menjadi limbung tak tentu arah. Sementara kehidupan tetap harus berjalan. Â Dalam keadaan demikian, dirinya pergi kepada orang pintar yang menjadi kepercayaan majikannya.
Oleh orang pintar itu, dikatakan bahwa kalau ingin mendapat keberkahan dalam hidup, maka selain bertobat kepada Tuhan, juga harus meminta maaf kepada kedua orang tua atas segala perbuatan yang telah mengecewakan, dan menyakiti hati mereka.
Adapun cara yang paling baik, kata orang pintar itu, selain mencium kaki kedua orang tuanya, dia pun disuruh untuk membasuh kedua telapak kaki ibunya dengan hati penuh kesadaran, dan keikhlasan. Karena bagaimana pun surga ada di telapak kaki ibu. Ridla Tuhan, adalah ridlanya ibu juga.
"Alhamdulillah, setelah melaksanakan petunjuk orang pintar itu, hidupku menjadi tenang dan nyaman. Kehidupanku pun sudah cukup mapan. Anak-anak tak seorang pun yang berkelakuan seperti aku pada waktu itu," akunya.
Kisah teman saya tersebut, sampai sekarang masih juga mengganggu pikiran. Bagaimanapun saya sendiri merasa begitu banyak membuat kecewa, dan melukai hati kedua orang tua. Terutama Ibu, tentu saja. Hanya saja sekarang ini kedua orang tua saya sudah tiada lagi. Ayah dan Ibu telah lama meninggal dunia. Dan saya tak bisa lagi mencium kaki mereka, juga tak pernah sempat meminum air yang dibasuhkan pada telapak kaki Ibu. Seperti teman saya itu.
Untunglah ketika selesai shalat Maghrib berjama'ah di masjid, saya diajak mampir ke rumah imam, Kiai Hasan, yang juga sesepuh di kampung kami. Sehingga saat itu saya pun berkesempatan untuk menanyakan perkara ritual meminum air bekas membasuh telapak kaki ibu, demi mendapat keberkahan dalam kehidupan.
Dengan tegas, Kiai Hasan menyangkal, ritual semacam itu tidak ada di dalam agama Islam. Bahkan beliau menunjuk sebuah Hadist yang artinya: "Dari Mu'wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: "Apakah engkau masih mempunyai ibu?" Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: "Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya."
Ada pun surga di bawah telapak kaki ibu itu pun hanyalah merupakan kiasan saja. Maksudnya di balik kiasan itu yaitu senantiasalah (engkau) dalam melayani dan memperhatikan urusannya  dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri.
"Sementara jika kita tidak sempat melakukan hal itu, karena kedua orang tua sudah meninggal dunia, maka pada setiap kesempatan berkirimlah do'a kepada keduanya. Selain itu perbanyaklah untuk bersilaturahmi kepada sahabat kedua orang tua kita yang masih hidup di dunia ini," kata Kiai Hasan.***