Beberapa hari lalu, saya datang ke kantor kecamatan. Maksudnya untuk mengganti KTP elektronik yang hilang. Di ruang tunggu, tiba-tiba saya ditegur seseorang yang tidak kenal. Saya menaksir usianya sepertinya sebaya dengan saya. Hanya bedanya mungkin dari penampilan yang berpakaian necis, dan rambut di kepalanya belum beruban seluruhnya.
Sesaat saya hanya menatap wajahnya saja sambil bertanya-tanya dalam hati. Sementara orang yang berdiri di depan saya itu, selain menatap akrab ke arah saya, senyumannya pun masih tetap terkembang penuh arti. Tetapi kalau melihat gaya, dan suaranya rasa-rasanya puluhan tahun lalu saya pernah mengenalnya.
Aha! Tidak salah lagi. Sebuah nama muncul dalam ingatan. Dan saat saya sebut nama itu, orang di depan saya pun langsung mengangguk seraya merangkul saya. Kami pun sesaat berangkulan penuh kerinduan, tanpa menghiraukan lagi tatapan orang-orang di ruang tunggu, tempat kami berada saat itu.
Orang yang saya temui di ruang tunggu kantor kecamatan hari itu, adalah teman akrab saya ketika duduk di bangku SMA 30 tahun yang lalu. Teman yang satu ini dikenal paling nakal saat itu. Di sekolah dia seringkali mendapat hukuman dari guru atas kenakalannya itu. Bahkan di luar beberapa kali pernah juga berurusan dengan polisi. Selain kena tilang di jalan karena surat-surat sepeda motornya tidak lengkap, teman saya itu pernah juga masuk sel tahanan gara-gara memalak pemilik toko di pasar. Tidak hanya sekali itu saja dia masuk sel tahanan polisi. Kalau tidak salah, selama tiga tahun kami bersama, mungkin sampai sepuluh kali Kebanyakan kasus yang menjeratnya adalah masalah tawuran dengan anak sekolah lain. Sementara kasusnya yang paling parah, saat membongkar rumah saudaranya sendiri.
Meskipun yang menjadi korbannya adalah masih saudara sepupunya, tetapi bisa jadi saat itu saudara sepupunya, dan semua keluarganya sudah merasa kesal, dan tidak bisa mengatasi lagi aksi kenakalan teman saya itu yang memang sudah dianggap keterlaluan. Sehingga masalah itu pun dilaporkan kepada pihak kepolisian. Hanya saja kasus itu pun tidak sampai ke tingkat pengadilan. Ketika kasus itu dilimpahkan pihak kepolisian ke pihak kejaksaan, entah mengapa teman saya pun bisa menghirup udara bebas kembali.
"Meskipun rambutmu sudah putih semua, dan sudah berkaca mata, tapi aku sendiri tetap merasa mengenalmu saat melihatmu lewat di depanku tadi. Penampilanmu yang bercelana jean, berkaos oblong, dan bersendal jepit butut itulah yang membuatku merasa tak asing lagi dengan dirimu," celotehnya.
Karena merasa kurang nyaman  ngobrol di tengah banyak orang, maka saat itu kami menuju kantin yang terletak di belakang kantor kecamatan. Kebetulan suasananya sedang sepi, karena mungkin belum tiba waktu istirahat. Sehingga kami pun merasa leluasa ngobrol ngalor-ngidul, bernostalgia mengenang masa lalu. Tak lupa juga, saling bertanya punya anak berapa, bekerja atawa menjalani usaha apa, dan sebagainya dan seterusnya.
Nah, karena melihat penampilannya yang rapi dan necis, serta sedikit berwibawa, maka saya pun mencari tahu perubahan yang jauh berbeda saat kami bersama di masa remaja di masa yang lalu. Malahan sambil menggodanya, saya pun bertanya, "Apa masih nakal seperti dulu?"
Kemudian dia pun berkisah pada saya tentang dirinya.
Setamat SMA, dia nekad pergi ke Jakarta. Alasan yang disampaikan kepada orang tuanya, untuk melanjutkan kuliah di sana. Memang benar, dia bisa diterima di salah satu perguruan tinggi swasta. Hanya saja setelah jauh dari orang tua, kenakalannya malah semakin menjadi-jadi saja. Ketika itu, akunya, Â dia bergabung dengan kelompok preman yang sudah dikenal luas karena aksi-aksinya yang brutal dan cukup menakutkan.
Dari pergaulan di lingkungan preman itu juga ahirnya dia direkrut sebagai tangan kanan kepercayaan seorang pengusaha kakap. Â Sehingga sejak itu pula dia meminta orang tuanya untuk tidak lagi mengirim biaya. Malah sebaliknya justru dia sendiri yang saban bulan selalu mengirim uang kepada orang tuanya.