Menghadapi Pilgub Serentak 2018 mendatang, termasuk di Jawa Barat, sebagai tetangga DKI Jakarta paling dekat, tidak menutup kemungkinan akan muncul berbagai kejutan sebagaimana yang terjadi dalam Pilkada di Ibu Kota Indonesia itu beberapa waktu lalu.
Selain tergusurnya pertahana, dan yang dianggap memiliki elektabilitas tinggi, tentu saja, diwarnai juga oleh sentimen isu SARA yang memuncak tinggi. Sementara janji manis para calon, meskipun sudah lumrah dilakukan, semisal akan itu akan ini, akan tetapi jika konstituen sampai terpikat, namun kemudian tidak ditepati di saat calon tersebut sudah jadi, maka pendukung itupun akhirnya merasa sudah dibodohi.
Sentimen SARA (Suku, agama, ras, dan antargolongan), bagaimanapun di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia merupakan satu hal tabu. Terwujudnya Indonesia sampai berusia 72 tahun ini berkat keragaman yang diikat dalam kebhinekaan. Maka untuk menjaga keutuhannya tiada lain harus tetap menjaga sikap toleran, tepo seliro, mawas diri, dan saling menghargai satu dengan yang lainnya. Â
Sehingga kalau hal itu terjadi dalam perhelatan demokrasi, paling tidak warganya akan menjadi terbelah dua. Sebagaimana di DKI Jakarta, Â pemimpinnya pun tampak kesulitan untuk mempersatukannya kembali.
Begitu juga dengan janji-janji saat kampanye yang begitu mengalun merdu, dan membuai bak angin surga, sudah seharusnya disikapi dengan kritis, hati-hati, dan waspada. Jangan sampai merasa sudah dibodohi (Jangan-jangan karena memang benar bodoh!), ibarat membeli kucing dalam karung, sehingga ahirnya harus menanggung kekecewaan yang terus berulang setiap lima tahun berselang.
Warga Jawa Barat pun masih ingat, dan di antaranya ada yang rajin mencatat. Bagaimana misalnya Gubernur Anies Baswedan saat masih berstatus calon Gubernur dalam kampanyenya berjanji tidak akan melakukan penggusuran. Malahan kepada warga yang kadung sudah menjadi korban gusuran di eranya Gubernur Ahok pun dijanjikan akan dipulihkan kembali tempat tinggalnya. Tetapi manakala sudah jadi Gubernur, dan suatu saat melakukan inspeksi tatkala banjir terjadi, Anies menemukan  rumah-rumah dibangun di pinggir kali sampai di atas kali. Anies pun ketika itu hanya geleng-geleng kepala saja.
Lalu apakah rumah-rumah dipinggir kali, dan juga di atas kali itu akan tetap dibiarkan -- sebagaimana yang pernah dijanjikannya? Sepertinya suatu hal yang mustahil Anies membiarkannya. Bagaimanapun keadaan seperti itu menjadi salah satu penyebab masih terjadinya banjir tahunan di provinsi yang dipimpinnya itu.
Demikian juga halnya dengan program One Kecamatan One Center for Entrepreneurship (OKE OCE) yang dianggap sebagai unggulan kampanyenya yang begitu gencar ditebarkan. Â Berbagai media, baik televisi, media cetak arus utama, sampai media sosial sekalipun mencatatnya.Â
Program tersebut merupakan solusi yang ditawarkan Anies-Sandi untuk mengurangi jumlah pengangguran, menciptakan 200.000 wirausaha baru dalam 5 tahun, serta meningkatkan ekonomi warga Ibu Kota agar "naik kelas". Salah satu solusi yang disodorkan Anies-Sandi kala itu, adalah memberikan bantuan permodalan maksimal sebesar  Rp 300 juta.
Sudah barang tentu, siapa sih orangnya yang tidak tergiur dengan iming-iming semanis madu seperti itu? Tanpa pikir panjang lagi mereka pun berbaris mengular ke belakang, dan mendorong pasangan Anies-Sandi hingga ahirnya menjadi pemenang. Namun saat janji untuk memberi bantuan modal itu ramai ditanyakan, Anies dan Sandi langsung menampiknya.Â
Sejak awal, katanya, sama sekali pihaknya tidak pernah berjanji seperti itu. Bahkan Sandi justru malah menyalahkan media, karena dianggap telah membuat berita yang salah, alias  tidak benar.